Lembaran Kertas di Dinding Ruang Kosong
(Oleh Irfan HT)
"Dinding hatiku lambat laun mulai serapuh dinding perpustakaan. Keduanya harus segera kurenovasi."
Teng teng teng....
Kudentangkan lonceng sekolah tanda istirahat selesai. Murid-murid pun kugiring ke perpustakaan.
"Bu guru, aku mau menggambar ikan,"Â ucap seorang murid perempuan.
"Kenapa mau menggambar ikan?" tanyaku penasaran.
"Banyak ikan mati kena bom, Bu," jawabnya tegas. Dia berlari mendahuluiku disusul belasan anak-anak kecil lainnya.
Ruangan perpustakaan kami tidak luas hanya 2x3 meter persegi. Dulunya ruangan itu dijadikan gudang penyimpan alat-alat sekolah yang sudah tidak terpakai. Setelah dirapikan, ruangan itu jadi lebih layak ditempati.
Di perpustakaan itu hanya ada lembaran kertas kosong dengan alat tulis dan krayon. Tidak ada meja dan bangku. Sejak ayahku masih hidup, semua murid diwajibkan memasuki ruangan kosong itu. Mereka disuruh berkreasi menggambar atau menulis apa saja yang mereka inginkan. Penuh sudah dinding-dinding ruangan dengan karya-karya yang bagiku sangat luar biasa. Karya-karya yang sudah lama terpampang di dinding kukumpulkan dan kujilid menjadi beberapa bundelan.
Dulu ayahku adalah kepala sekolah di Sekolah Dasar Swasta tempatku mengajar. Setelah ayah wafat, ibu pun mencarikan kepala sekolah yang baru. Namun, banyak yang tak ingin menjadi guru. Gaji kecil dengan beban moral yang berat adalah alasan mereka urung niat menjadi guru.
Aku ingat, dulu ada seorang murid lelaki di pojok belakang perpustakaan. Tangannya asyik meniru gambar Presiden yang tertempel di atas dinding. Kuperhatikan dengan seksama. Tak ada kemiripan sedikitpun. Aku tersenyum dengan kelakuannya. Gambar wajah Presiden jadi kelihatan sangat gemuk.
"Kok beda?" tanyaku.
"Ini bukan Presiden itu, Bu. Aku ingin bapakku bisa seperti di gambar,"Â ujar bocah yang berbadan kurus sambil menunjuk foto Presiden yang dia tiru.
"Pengen rasanya melihat bapak pakai jas dan kopiah yang bagus. Bajunya tiap hari itu-itu saja. Ke laut pakai baju putih yang robek nanti ke darat juga pakai baju yang sama."
Aku tersenyum mendengar keluhannya.
Saat semua murid sibuk dengan gambar masing-masing, aku pun memilih menulis impian. Secarik lembaran kosong kutarik dari 1 rim kertas HVS. Tak banyak yang kuminta pada Tuhan. Aku sudah lama menunggu jodohku. Sebelum ibuku meninggal aku ingin beliau sempat menimang bayi yang kulahirkan sendiri.
"Bu Resti, ada tamu!" teriak ibuku dari samping sekolah. Beliau menjadi kepala sekolah baru kami.
Aku bergegas menghampiri kepala sekolah dan dua lelaki dewasa yang sedang duduk di bangku teras. Hatiku cemas. Sudah sering kali lelaki datang ke rumah untuk berkenalan bahkan ingin meminangku. Aku tak memilih mereka sama sekali. Bukan karena mereka tak berwajah tampan atau mapan. Aku ingin lelaki yang kudampingi nanti adalah seorang guru juga.
Langkah kakiku semakin mendekat ke tamu yang datang.
"Resti, bapak-bapak ini dari Perpustakaan Daerah. Beliau-beliau ingin sosialisasi lomba perpustakaan antar sekolah di kabupaten kita," terang kepala sekolah. Aku akhirnya lega.
Raut wajah ibu terlihat senang. Belum pernah sekolah kami ikut lomba apapun melibatkan murid-murid karena keterbatasan. Hanya dengan label ada perpustakaan, ibu dan aku percaya diri untuk bisa ikut lomba itu.
Kedua tamu kuajak ke lokasi perpustakaan. Murid-murid memberi salam dan menawarkan singkong bakar yang mereka selalu bawa setiap hari saat kegiatan menulis dan menggambar. Walaupun kedua lelaki itu menolak untuk mencicipi, mereka kagum pada adab murid-murid dalam menyambut tamu.
Saat kedua tamu masuk ke ruangan kosong itu, wajah mereka terlihat kaget berangsur lesu. Mungkin perpustakaan kami tidak seperti yang mereka harapkan.
"Maaf, Ibu. Buku-bukunya ada di mana, ya?" tanya salah satu dari mereka dengan sedikit sungkan.
Aku dan kepala sekolah saling melirik kemudian tersenyum.
"Kami hanya melihat gambar-gambar dan tulisan di dinding,"Â ujar lelaki satunya sambil memperhatikan sekilas karya-karya murid yang terpampang, "buku-bukunya di taruh di ruangan lain kah, Bu?"
Kepala sekolah mengajak kedua tamu itu keluar ruangan. "Kami yakin bisa bersaing dengan sekolah lain, Pak," ujar ibuku sambil berjalan.
Dua lelaki itu saling bertatapan. Wajah mereka tampak bingung. Aku pun akhirnya menyela pembicaraan.
"Apakah perpustakaan itu mutlak harus memiliki buku, Bapak-Bapak semua?"Â tanyaku.
"Pastinya iya, Bu!" jawab mereka serentak.
"Bukankah buku-buku itu berisikan aksara? Memiliki pesan? Dan ada penulisnya?"
Keduanya mengangguk tanda setuju.
Kepala sekolah tiba-tiba beranjak dari duduknya dan mengernyitkan dahi, "Kami punya itu, Pak! Anda bisa lihat sendiri. Ada aksara dan gambar yang memiliki makna di dinding perpustakaan itu? Semua dibuat oleh guru dan murid-murid kami!"
Aku ikut berdiri menyodorkan lembaran-lembaran puisi milik murid-murid yang dulu masih bersekolah di tempat kami. Lembaran yang dijilid itu kubawa dari ruangan perpustakaan saat mengantar kedua tamu.
"Kalau Bapak mengharapkan adanya buku, cuma satu bundelan ini yang bisa kami tunjukkan. Bundelan ini adalah kumpulan catatan murid mengenai apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan tentang kehidupan,"Â tegasku, "buku ini sudah dibaca semua murid-murid yang pernah bersekolah di tempat kami, Pak."
"Tapi hanya satu kan, Bu!" hardik salah satu lelaki dengan nada sedikit tinggi.
Aku pun terpancing emosi. Ubun-ubunku terasa mendidih mengalirkan benci ke dalam hati. Pernyataan yang baru dia lontarkan tak pantas rasanya bagiku.
"Lebih baik satu buku tapi dibaca semua murid, Pak! Satu buku yang dapat merubah adab, menjadikan inspirasi, dan pastinya satu buku itu juga merubah cara berpikir mereka yang sempit!" tegasku menyindir kedua tamu itu.
Dengan nada sedikit lebih tenang, ibu selanjutnya menambahkan, "Banyak perpustakaan yang memiliki ratusan bahkan ribuan buku tapi sepi pengunjung. Bahkan tulisan-tulisan karya penulis hebat sekali pun tak sempat merubah cara berpikir dan berperilaku orang-orang di negara kita."Â
Tak berselang lama, kedua tamu itu pun pamit meninggalkan rumah dan sekolah kami.Â
***
Cuaca terik di siang ini mencubit kulitku. Keringat tak mau kalah berpacu dengan air mata yang melumerkan make up murahan di wajah. Kutempelkan lagi secarik kertas di dinding perpustakaan. Rasa cinta dan rindu pada ibuku, sang kepala sekolah, kutuangkan dalam sebuah puisi. Sebulan kepergiannya menemui ayahku masih meninggalkan duka mendalam bagi kami di sekolah itu.Â
Karangan bunga masih berdatangan silih berganti. Warna bunga seperti tak ingin layu menemani ucapan penghormatan yang terpampang di sepanjang jalan menuju sekolah.
"Mohon maaf, Bu Resti," tegur salah seorang yang menepuk bahuku.
Seorang lelaki menghampiri dan menyerahkan sepucuk surat. Kuperhatikan kop suratnya ternyata dari Perpustakaan Daerah. Kubaca pengumuman daftar perpustakaan yang mendapatkan penghargaan tahun itu. Tak ada tertulis nama sekolah kami.
"Ini surat kedua, Bu," lanjutnya lagi.
Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Sepertinya aku pernah bertemu dengan lelaki itu.
"Ya, saya Pak Anwar yang pernah bertemu bulan lalu dengan Bu Resti bersama almarhumah ibu kepala sekolah,"Â ujarnya.
"Oh, iya, saya baru ingat. Maaf, Pak," balasku sedikit malu.
Kubaca surat kedua itu. Kali ini tulisan dari seseorang yang hampir tak kukenal. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada sekolah dan guru-guru yang pernah mengajarnya. Ternyata dia dulu salah satu muridku. Bocah kecil yang suka duduk di pojok perpustakaan. Dia sekarang telah menjadi seorang penulis terkenal.
"Beliau menitipkan sejumlah donasi yang terkumpul dari alumni sekolah ini untuk membangun perpustakaan Ibu," lanjut Pak Anwar sambil menyerahkan sebuah cek.
Aku bersujud syukur. Saat moral bangsa dipertanyakan, masih ada mantan-mantan murid yang menjaga marwah sekolah dan guru-guru yang khidmat pada pembekalan hidup mereka.
"Ini surat ketiga, Bu Resti. Ini khusus dari saya."Â
Kubuka surat tanpa amplop dari Pak Anwar. Tulisan tangannya tak terlalu bagus. Namun, isinya membuatku kaget.
Ijinkan aku menjadi sampul karyamu agar hatiku dan hatimu tetap ada dalam perpustakaan yang sepi. Dari pemuja hatimu, Anwar Sanusi.Â
Kalimat singkat itu ditulis di selembar kertas yang berwarna merah jambu.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Menatap matanya pun aku tak berani. Hari itu ada 3 surat yang membuatku tak kuasa membendung air mata yang sudah lama bersemayam . Aku berpura-pura cuek namun tangan dan kakiku gemetar. Jantung memompa darahku lebih cepat ke seluruh urat nadi.Â
Namun, aku tetap kukuh pada pendirian. Calon suami yang kutunggu harus seorang guru. Aku pun hanya melepaskan senyum kecil pada lelaki itu dan berlalu meninggalkannya.
Entahlah, aku bagaikan perpustakaan yang selalu sepi menanti sesuatu yang berarti. Dinding-dinding hatiku juga lambat laun mulai serapuh dinding perpustakaan. Keduanya harus segera kurenovasi. Aku akan mencoba beradaptasi terhadap impian yang kadang tak sesuai ekspektasi (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H