Karangan bunga masih berdatangan silih berganti. Warna bunga seperti tak ingin layu menemani ucapan penghormatan yang terpampang di sepanjang jalan menuju sekolah.
"Mohon maaf, Bu Resti," tegur salah seorang yang menepuk bahuku.
Seorang lelaki menghampiri dan menyerahkan sepucuk surat. Kuperhatikan kop suratnya ternyata dari Perpustakaan Daerah. Kubaca pengumuman daftar perpustakaan yang mendapatkan penghargaan tahun itu. Tak ada tertulis nama sekolah kami.
"Ini surat kedua, Bu," lanjutnya lagi.
Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Sepertinya aku pernah bertemu dengan lelaki itu.
"Ya, saya Pak Anwar yang pernah bertemu bulan lalu dengan Bu Resti bersama almarhumah ibu kepala sekolah,"Â ujarnya.
"Oh, iya, saya baru ingat. Maaf, Pak," balasku sedikit malu.
Kubaca surat kedua itu. Kali ini tulisan dari seseorang yang hampir tak kukenal. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada sekolah dan guru-guru yang pernah mengajarnya. Ternyata dia dulu salah satu muridku. Bocah kecil yang suka duduk di pojok perpustakaan. Dia sekarang telah menjadi seorang penulis terkenal.
"Beliau menitipkan sejumlah donasi yang terkumpul dari alumni sekolah ini untuk membangun perpustakaan Ibu," lanjut Pak Anwar sambil menyerahkan sebuah cek.
Aku bersujud syukur. Saat moral bangsa dipertanyakan, masih ada mantan-mantan murid yang menjaga marwah sekolah dan guru-guru yang khidmat pada pembekalan hidup mereka.
"Ini surat ketiga, Bu Resti. Ini khusus dari saya."Â