Kubuka surat tanpa amplop dari Pak Anwar. Tulisan tangannya tak terlalu bagus. Namun, isinya membuatku kaget.
Ijinkan aku menjadi sampul karyamu agar hatiku dan hatimu tetap ada dalam perpustakaan yang sepi. Dari pemuja hatimu, Anwar Sanusi.Â
Kalimat singkat itu ditulis di selembar kertas yang berwarna merah jambu.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Menatap matanya pun aku tak berani. Hari itu ada 3 surat yang membuatku tak kuasa membendung air mata yang sudah lama bersemayam . Aku berpura-pura cuek namun tangan dan kakiku gemetar. Jantung memompa darahku lebih cepat ke seluruh urat nadi.Â
Namun, aku tetap kukuh pada pendirian. Calon suami yang kutunggu harus seorang guru. Aku pun hanya melepaskan senyum kecil pada lelaki itu dan berlalu meninggalkannya.
Entahlah, aku bagaikan perpustakaan yang selalu sepi menanti sesuatu yang berarti. Dinding-dinding hatiku juga lambat laun mulai serapuh dinding perpustakaan. Keduanya harus segera kurenovasi. Aku akan mencoba beradaptasi terhadap impian yang kadang tak sesuai ekspektasi (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H