Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lembaran Kertas di Dinding Ruang Kosong

26 September 2024   09:19 Diperbarui: 30 September 2024   16:22 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keduanya mengangguk tanda setuju.

Kepala sekolah tiba-tiba beranjak dari duduknya dan mengernyitkan dahi, "Kami punya itu, Pak! Anda bisa lihat sendiri. Ada aksara dan gambar yang memiliki makna di dinding perpustakaan itu? Semua dibuat oleh guru dan murid-murid kami!"

Aku ikut berdiri menyodorkan lembaran-lembaran puisi milik murid-murid yang dulu masih bersekolah di tempat kami. Lembaran yang dijilid itu kubawa dari ruangan perpustakaan saat mengantar kedua tamu.

"Kalau Bapak mengharapkan adanya buku, cuma satu bundelan ini yang bisa kami tunjukkan. Bundelan ini adalah kumpulan catatan murid mengenai apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan tentang kehidupan," tegasku, "buku ini sudah dibaca semua murid-murid yang pernah bersekolah di tempat kami, Pak."

"Tapi hanya satu kan, Bu!" hardik salah satu lelaki dengan nada sedikit tinggi.

Aku pun terpancing emosi. Ubun-ubunku terasa mendidih mengalirkan benci ke dalam hati. Pernyataan yang baru dia lontarkan tak pantas rasanya bagiku.

"Lebih baik satu buku tapi dibaca semua murid, Pak! Satu buku yang dapat merubah adab, menjadikan inspirasi, dan pastinya satu buku itu juga merubah cara berpikir mereka yang sempit!" tegasku menyindir kedua tamu itu.

Dengan nada sedikit lebih tenang, ibu selanjutnya menambahkan, "Banyak perpustakaan yang memiliki ratusan bahkan ribuan buku tapi sepi pengunjung. Bahkan tulisan-tulisan karya penulis hebat sekali pun tak sempat merubah cara berpikir dan berperilaku orang-orang di negara kita." 

Tak berselang lama, kedua tamu itu pun pamit meninggalkan rumah dan sekolah kami. 

***

Cuaca terik di siang ini mencubit kulitku. Keringat tak mau kalah berpacu dengan air mata yang melumerkan make up murahan di wajah. Kutempelkan lagi secarik kertas di dinding perpustakaan. Rasa cinta dan rindu pada ibuku, sang kepala sekolah, kutuangkan dalam sebuah puisi. Sebulan kepergiannya menemui ayahku masih meninggalkan duka mendalam bagi kami di sekolah itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun