Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sebutir Peluru dari Belinda

17 September 2024   16:49 Diperbarui: 19 September 2024   16:54 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku mengarah pada Belinda. Gadis yang kucintai itu ternyata orang yang menembak tubuhku dari belakang. Tangannya masih memegang senapan. Mungkin dia merasa aku akan membunuh ibunya.

Tidak, Belinda tidak kusalahkan. Dia telah mengingatkanku hakikat cinta. Ada apa denganku? Mana cinta tanah air yang kudengungkan sejak dulu? Aku malu pada pemuda-pemuda di hadapanku sampai sakit pada luka pun tak lagi kurasakan.

Kulihat tubuh Belinda dan ibunya diangkut dengan truk. Kelima pemuda berlalu begitu saja, padahal aku sudah berusaha memanggil Belinda. Aku ingin gadis itu tahu bahwa aku tak pernah berniat membunuh ibunya. Aku penasaran apakah perasaannya masih seperti dulu padaku.

Aku juga berusaha berteriak memohon pada semua pemuda untuk ikut membawaku. Aku ingin mereka tahu bahwa aku sangat mencintai bangsa dan negaraku.  Namun sayangnya, bibirku sudah membeku dan tak bisa terbuka lagi.

Maut sepertinya tak sabar membawaku pergi. Aku masih berontak untuk bisa bicara. Aku tak ingin dicap sebagai pengkhianat oleh kekasih dan bangsaku sendiri.

Perlahan truk berjalan meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Mataku mulai tertutup seiring semakin jauhnya truk yang membawa cintaku pada Belinda. "Dokter Muchtar yang malang, harus ditinggalkan semua orang di penghujung hidupnya," ujarku pada diri sendiri.

***

Aku tiba-tiba sudah berjalan di jalanan penuh anggrek. Warna-warninya mengingatkanku pada masa kecil dulu. Terlihat sebuah rumah yang mirip rumah kami sebelum terbakar dulu. Dari dalam rumah keluar seorang wanita yang mengantarkan seorang pria menaiki sebuah kendaraan. Aku tak pernah melihat model kendaraan seperti itu sebelumnya.

"Belinda, jaga anak kita baik-baik," ujar pria yang mirip denganku.

"Baik, Muchtar, hati-hati bekerja," balas si wanita.

Tiba-tiba beberapa orang berlari dan melempari rumah si pria sambil berteriak, "dasar pengkhianat!"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun