Sebutir Peluru dari Belinda
Seperti biasanya, aku berjalan menyusuri kebun-kebun bunga di belakang rumah tuanku. Bunga yang dipenuhi oleh berbagai jenis anggrek itu menghiasi jalanan yang kulalui. Warna-warni yang terlihat di sekeliling memanjakan mata yang lelah.
Rumah itu sudah berdiri sejak 100 tahun yang lalu sebelum penjajah datang dan menghentakkan kakinya di tanah kelahiranku. Kaki-kaki mereka tidak hanya menggetarkan telinga penduduk pribumi yang ketakutan. Kaki-kaki itu juga menginjak kepala kakek dan nenek buyutku hingga harus terkubur di pemakaman.
Kedua orangtuaku entah ke mana. Mereka ditangkap tentara karena tidak tunduk pada perintah. Ayahku seorang demang yang tidak mau disuap untuk menjadi pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Saat diundang oleh penjajah untuk pesta makan malam, ayah dan ibuku tak pernah kembali lagi ke rumah.
Sudah 5 tahun aku bekerja pada meneer yang  menempati rumah itu. Aku hanya mendapatkan makan satu kali di pagi hari tanpa gaji dari keringatku. Untuk mendapatkan makan malam, kadangkala puteri meneer datang menghampiriku diam-diam. Dia memberikan sepotong roti dan telur rebus melalui kolong pintu kamarku. Ibunya memaksa untuk mengantarkan makanan itu.
Belinda adalah anak perempuan seusiaku. Dia satu-satunya putri yang dimiliki oleh meneer di rumah itu. Rambutnya pirang. Kulit putih dengan mata biru menandakan dia bukan sebangsa denganku. Sebagai lelaki normal, kecantikannya membuatku terpukau. Tapi kekejaman bangsanya membuat rasa takjub itu hilang seketika. Kalaupun bertemu dengannya aku tak sudi menegur apalagi berbicara dengannya.
Kuingat pertama kali tentara penjajah mendobrak pintu rumah kami. Padahal, kami sedang menunggu kedatangan ayah dan ibu yang belum pulang sejak semalam. Paman dan bibiku yang melawan, mereka tembak dengan sadis. Aku adalah satu-satunya orang yang tidak dibunuh karena dilarang oleh istri meneer.
Tangan berkulit putih itu merangkul tanganku untuk bangkit dan keluar dari rumah yang diberondong peluru. Aku ketakutan dan menangis sekeras-kerasnya melihat jasad paman dan bibiku dengan mata masih melotot ke arahku. Mata itu terus menatap sampai peluru terakhir menembus kepala mereka.
Kebencian pada tentara penjajah semakin menghasut dendam. Trauma yang kualami tak pernah merangkak dari mimpi buruk setiap malam. Letusan peluru mengingatkanku pada kejadian yang mengerikan itu.
***
Sudah tahun 1909 di mana aku telah menyelesaikan pendidikan kedokteran di ibukota. Hidup lama di asrama dengan disiplin ketat dari pagi sampai siang membuatku sedikit melupakan trauma masa lalu. Perasaanku senang karena bisa ikut berjuang bersama pemuda-pemuda sebangsaku.
Aku sudah lama tidak pulang ke rumah dan bertemu mevrouw, istri dari meneer. Suami mevrouw sudah lama meninggal karena terkena wabah penyakit kolera. Itulah alasannya kenapa mevrouw menyekolahkanku ke ibukota agar bisa membantu menyelesaikan masalah kesehatan di daerah kami.
"Pieter, apa kabar?," hardik Belinda yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Dia berlari dan memelukku. Badanku gemetar. Tak pernah ada wanita yang menyentuhku sebelumnya apalagi memeluk.
Di luar gerbang, beberapa tentara terlihat berjaga-jaga. Seperti biasa mereka mengawal tuan putri Belinda dari serangan kelompok pemuda yang menentang penjajah. Bagi penjajah mereka adalah pemberontak, tetapi bagiku mereka adalah pejuang yang ingin merdeka di atas tanah mereka sendiri.
Sepanjang jalan kereta api, kucuri pandang mata Belinda yang duduknya berhadapan denganku. Gadis itu sudah dewasa dan semakin cantik saja. Senyum manisnya meluluhkan keegoan untuk menatap sinis kaum penjajah. Aku hanya bisa membalas senyum itu dengan diam tapi dengan pikiran kalut.
Jantungku semakin berdegup kencang saat tangan Belinda mengelap keringat yang mengucur di dahiku dengan sapu tangannya.
"Aku bersikeras ikut menjemputmu, Pieter," ucap Belinda sambil membaringkan kepalanya di pundakku.
Ah, apa yang sedang kualami? Kenapa detak nadiku terasa semakin cepat memompa ke seluruh tubuh? Tak pernah ada perasaan seperti ini sebelumnya.
Setelah 10 jam perjalanan, aku akhirnya tiba di tanah kelahiranku. Aku berjalan menyisiri jalan setapak menuju ladang tebu milik tuanku. Ya rumahku dulu berada dekat dengan lokasi itu. Ladang tebu sudah dikelola oleh keluargaku sejak dulu, tetapi tidak seluas yang sekarang. Bahkan ladang itu sudah memiliki pabrik sendiri untuk mengolah tebu menjadi gula pasir.
"Pieter, tunggu aku, jangan buru-buru jalannya!," ujar Belinda dengan manja dari belakang. Aku hanya pura-pura tidak mendengar. Padahal setiap gadis itu bicara atau melihatku, jantungku selalu berdebar.
Saat mendekati rumah, tiba-tiba dari kejauhan datang segerombolan pemuda membawa senjata. Mereka melemparkan bom molotov ke arah ladang. Seketika terjadi kebakaran besar. Api menjilat bangunan pabrik di sekitarnya.
Suara tembakan terdengar ke arah kami. Aku bersembunyi di dalam parit. Beberapa tentara yang mengawal kami melakukan serangan balik. Suara ledakan granat terdengar dan memekikkan telinga. Mataku samar-samar melihat sosok berpakaian putih di tengah jalan yang sedang terkapar. Ternyata itu adalah Belinda.
Aku bangkit dari parit dan berlari mengejar Belinda yang terpental oleh ledakan. Kuangkat tubuh lunglai itu dan membawanya ke dalam parit. Belinda pingsan. Keningnya berlumur darah. Kuseka perlahan darah itu dengan telapak tanganku.
Suara ledakan terdengar lagi. Aku melindunginya dengan memeluk tubuh yang sudah tak berdaya itu.
"Belinda..., bangun Belinda!" bentakku untuk membuatnya sadar. Aku ikut panik karena penglihatanku juga menuju pada rumah kami yang ikut dilalap api.
Tiga puluh menit berlalu, suara tembakan dan ledakan tidak terdengar lagi. Kuberanikan diri melihat sekeliling jalanan dari parit. Semua tentara yang mengawal kami tergeletak tak bernyawa di jalanan. Setelah kurasa aman, kubopong tubuh Belinda dan membawanya naik.
Tiba-tiba gerombolan pemuda yang tadi menyerang, membidikku dengan senapan laras panjang. Mereka memintaku melepaskan Belinda untuk dijadikan tawanan.
"Apa? Kalian mau menembakku, bangsa sendiri? Aku bukan pengkhianat," teriakku di depan pemuda-pemuda yang sebagian masih kukenali wajahnya. Ya mereka adalah teman-teman masa kecilku. Mereka ikut berjuang untuk melawan penjajah.
"Tidak, aku tidak akan melepaskannya,"Â tegasku.
"Kau Muchtar! bukan Pieter!" sahut salah satu dari pemuda.
Ya, nama kecil pemberian orangtuaku adalah Muchtar sebelum diganti oleh tuanku. Sejak itu aku pun lebih sering dipanggil Pieter oleh orang-orang. Dokter Pieter lebih lengkapnya. Ada rasa bangga dalam diriku saat menyandang gelar pendidikan bergengsi dari penjajah.
"Gadis ini dijadikan tawanan agar kita bisa mengusir penjajah dari negeri ini, Muchtar!" tegas lelaki besar yang membidikkan senapannya ke daguku.
"Apa kau menaruh hati pada gadis penjajah ini?" lanjutnya lagi.
Aku terpana dengan pertanyaannya. Di satu sisi aku malu mendengarkan pertanyaan itu. Di saat perjuangan bangsaku mengusir penjajah, aku malah tidak bersikukuh pada cita-cita membalaskan dendam keluargaku. Di sisi lain, aku tak bisa memungkiri bahwa aku memang telah jatuh cinta pada Belinda yang sedang kupangku.
Saat semua pemuda ingin menarik tubuh Belinda dari pangkuanku, beberapa pemuda lain terlihat sedang menyeret seorang wanita tua. Ya, mevrouw mereka seret dari rumah kami yang telah ludes terbakar.
Mevrouw menatapku sedih dan saat melihat Belinda tangisnya pun meledak. Tidak ada yang mengasihani wanita tua itu. Pemimpin gerombolan pemuda malah menyodorkan senapan ke hadapanku.
"Lakukan sekarang, Muchtar! Demi tanah airmu!"Â perintahnya.
Mata mevrouw menatapku lusuh. "Pieter...," suaranya lirih terdengar.
"Cepat atau kutembak keduanya!,"Â bentak pemuda itu.
Terpaksa kurampas senapan dari tangan lelaki yang kuingat bernama Syarif itu. Kubidik jantung mevrouw dan menatap matanya dalam-dalam. Ada perasaan dendam dengan hilangnya kedua orangtuaku. Ada benci menghasut kala mengingat paman dan bibi ditembak di depan mataku. Jariku mulai menarik pelatuk. Namun tiba-tiba perasaan cinta melunakkan hatiku. Tak mungkin kubunuh ibu dari gadis yang kucintai.
Dor...!Â
Suara satu tembakan terdengar. Aku tak merasa menarik pelatuk. Wajah mevrouw pun tak terlihat merasa kesakitan.
Mataku terpaku menatap langit. Dunia seakan tak ada isinya. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh. Badanku lemas dan terbanting di atas tanah.
Mataku mengarah pada Belinda. Gadis yang kucintai itu ternyata orang yang menembak tubuhku dari belakang. Tangannya masih memegang senapan. Mungkin dia merasa aku akan membunuh ibunya.
Tidak, Belinda tidak kusalahkan. Dia telah mengingatkanku hakikat cinta. Ada apa denganku? Mana cinta tanah air yang kudengungkan sejak dulu? Aku malu pada pemuda-pemuda di hadapanku sampai sakit pada luka pun tak lagi kurasakan.
Kulihat tubuh Belinda dan ibunya diangkut dengan truk. Kelima pemuda berlalu begitu saja, padahal aku sudah berusaha memanggil Belinda. Aku ingin gadis itu tahu bahwa aku tak pernah berniat membunuh ibunya. Aku penasaran apakah perasaannya masih seperti dulu padaku.
Aku juga berusaha berteriak memohon pada semua pemuda untuk ikut membawaku. Aku ingin mereka tahu bahwa aku sangat mencintai bangsa dan negaraku. Â Namun sayangnya, bibirku sudah membeku dan tak bisa terbuka lagi.
Maut sepertinya tak sabar membawaku pergi. Aku masih berontak untuk bisa bicara. Aku tak ingin dicap sebagai pengkhianat oleh kekasih dan bangsaku sendiri.
Perlahan truk berjalan meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Mataku mulai tertutup seiring semakin jauhnya truk yang membawa cintaku pada Belinda. "Dokter Muchtar yang malang, harus ditinggalkan semua orang di penghujung hidupnya," ujarku pada diri sendiri.
***
Aku tiba-tiba sudah berjalan di jalanan penuh anggrek. Warna-warninya mengingatkanku pada masa kecil dulu. Terlihat sebuah rumah yang mirip rumah kami sebelum terbakar dulu. Dari dalam rumah keluar seorang wanita yang mengantarkan seorang pria menaiki sebuah kendaraan. Aku tak pernah melihat model kendaraan seperti itu sebelumnya.
"Belinda, jaga anak kita baik-baik," ujar pria yang mirip denganku.
"Baik, Muchtar, hati-hati bekerja," balas si wanita.
Tiba-tiba beberapa orang berlari dan melempari rumah si pria sambil berteriak, "dasar pengkhianat!" Â
Aku kaget dan bingung melihat pemandangan kala itu. Naluri melindungi si wanita bernama Belinda itu pun hadir seketika namun seperti biasanya aku tak berdaya (*)
(Oleh Irfan HT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H