Suara tembakan terdengar ke arah kami. Aku bersembunyi di dalam parit. Beberapa tentara yang mengawal kami melakukan serangan balik. Suara ledakan granat terdengar dan memekikkan telinga. Mataku samar-samar melihat sosok berpakaian putih di tengah jalan yang sedang terkapar. Ternyata itu adalah Belinda.
Aku bangkit dari parit dan berlari mengejar Belinda yang terpental oleh ledakan. Kuangkat tubuh lunglai itu dan membawanya ke dalam parit. Belinda pingsan. Keningnya berlumur darah. Kuseka perlahan darah itu dengan telapak tanganku.
Suara ledakan terdengar lagi. Aku melindunginya dengan memeluk tubuh yang sudah tak berdaya itu.
"Belinda..., bangun Belinda!" bentakku untuk membuatnya sadar. Aku ikut panik karena penglihatanku juga menuju pada rumah kami yang ikut dilalap api.
Tiga puluh menit berlalu, suara tembakan dan ledakan tidak terdengar lagi. Kuberanikan diri melihat sekeliling jalanan dari parit. Semua tentara yang mengawal kami tergeletak tak bernyawa di jalanan. Setelah kurasa aman, kubopong tubuh Belinda dan membawanya naik.
Tiba-tiba gerombolan pemuda yang tadi menyerang, membidikku dengan senapan laras panjang. Mereka memintaku melepaskan Belinda untuk dijadikan tawanan.
"Apa? Kalian mau menembakku, bangsa sendiri? Aku bukan pengkhianat," teriakku di depan pemuda-pemuda yang sebagian masih kukenali wajahnya. Ya mereka adalah teman-teman masa kecilku. Mereka ikut berjuang untuk melawan penjajah.
"Tidak, aku tidak akan melepaskannya,"Â tegasku.
"Kau Muchtar! bukan Pieter!" sahut salah satu dari pemuda.
Ya, nama kecil pemberian orangtuaku adalah Muchtar sebelum diganti oleh tuanku. Sejak itu aku pun lebih sering dipanggil Pieter oleh orang-orang. Dokter Pieter lebih lengkapnya. Ada rasa bangga dalam diriku saat menyandang gelar pendidikan bergengsi dari penjajah.
"Gadis ini dijadikan tawanan agar kita bisa mengusir penjajah dari negeri ini, Muchtar!" tegas lelaki besar yang membidikkan senapannya ke daguku.