Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sebutir Peluru dari Belinda

17 September 2024   16:49 Diperbarui: 19 September 2024   16:54 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tahun 1909 di mana aku telah menyelesaikan pendidikan kedokteran di ibukota. Hidup lama di asrama dengan disiplin ketat dari pagi sampai siang membuatku sedikit melupakan trauma masa lalu. Perasaanku senang karena bisa ikut berjuang bersama pemuda-pemuda sebangsaku.

Aku sudah lama tidak pulang ke rumah dan bertemu mevrouw, istri dari meneer. Suami mevrouw sudah lama meninggal karena terkena wabah penyakit kolera. Itulah alasannya kenapa mevrouw menyekolahkanku ke ibukota agar bisa membantu menyelesaikan masalah kesehatan di daerah kami.

"Pieter, apa kabar?," hardik Belinda yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Dia berlari dan memelukku. Badanku gemetar. Tak pernah ada wanita yang menyentuhku sebelumnya apalagi memeluk.

Di luar gerbang, beberapa tentara terlihat berjaga-jaga. Seperti biasa mereka mengawal tuan putri Belinda dari serangan kelompok pemuda yang menentang penjajah. Bagi penjajah mereka adalah pemberontak, tetapi bagiku mereka adalah pejuang yang ingin merdeka di atas tanah mereka sendiri.

Sepanjang jalan kereta api, kucuri pandang mata Belinda yang duduknya berhadapan denganku. Gadis itu sudah dewasa dan semakin cantik saja. Senyum manisnya meluluhkan keegoan untuk menatap sinis kaum penjajah. Aku hanya bisa membalas senyum itu dengan diam tapi dengan pikiran kalut.

Jantungku semakin berdegup kencang saat tangan Belinda mengelap keringat yang mengucur di dahiku dengan sapu tangannya.

"Aku bersikeras ikut menjemputmu, Pieter," ucap Belinda sambil membaringkan kepalanya di pundakku.

Ah, apa yang sedang kualami? Kenapa detak nadiku terasa semakin cepat memompa ke seluruh tubuh? Tak pernah ada perasaan seperti ini sebelumnya.

Setelah 10 jam perjalanan, aku akhirnya tiba di tanah kelahiranku. Aku berjalan menyisiri jalan setapak menuju ladang tebu milik tuanku. Ya rumahku dulu berada dekat dengan lokasi itu. Ladang tebu sudah dikelola oleh keluargaku sejak dulu, tetapi tidak seluas yang sekarang. Bahkan ladang itu sudah memiliki pabrik sendiri untuk mengolah tebu menjadi gula pasir.

"Pieter, tunggu aku, jangan buru-buru jalannya!," ujar Belinda dengan manja dari belakang. Aku hanya pura-pura tidak mendengar. Padahal setiap gadis itu bicara atau melihatku, jantungku selalu berdebar.

Saat mendekati rumah, tiba-tiba dari kejauhan datang segerombolan pemuda membawa senjata. Mereka melemparkan bom molotov ke arah ladang. Seketika terjadi kebakaran besar. Api menjilat bangunan pabrik di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun