Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Bawa Putriku Kedua Kali

3 Juli 2024   06:52 Diperbarui: 3 Juli 2024   19:33 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan Bawa Putriku Kedua Kali

"Bukankah hartamu bisa membutakan mata orang yang bisa melihat?" ucap bisikan gaib ke telinga mereka,

"Barangkali ada takdir yang diselipkan malaikat di tangan orang-orang di sini."

Refli sedang memotong daging ayam menjadi beberapa bagian. Matanya sembab. Sesekali dia mengusap air mata yang membasahi hidung.

Sudah seminggu berita kehilangan putrinya belum ada kabar. Fika yang berumur 3 tahun hilang saat kedua orang tuanya sedang berjualan ayam potong di pasar. Setiap hari bocah itu dibawa ke tempat mereka berjualan. Entah kenapa hari yang naas itu harus terjadi. Refli dan istrinya sedang melayani banyak pembeli. Mereka lalai buah hatinya dibiarkan berkeliaran begitu saja di sekitar pasar.

Istri Refli datang menghampiri kemudian memeluk suaminya dari belakang. Tangis tak terbendung lagi. Berdua mereka meluapkan kesedihan yang mendalam menanti si buah hati yang entah masih hidup atau sudah mati.

"Ayamnya 2 kilo, Bu," ujar seorang wanita muda yang menggendong anak kecil di tangan kirinya. 

Istri Refli memandangi anak yang polos itu. Dia terbayang wajah putri mereka yang belum ada kabar padahal sudah lama dilaporkan ke polisi.

"Oh, iya 2 kilo ya," ucapnya.

Tak berselang lama, suara dering HP terdengar dari dalam tas Refli. Kali ini nomor yang memanggil bukan dari polisi yang biasa dia hubungi. Semangat untuk mengangkat telepon pun surut. Dia abaikan panggilan telepon yang sudah 3 kali berdering itu dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Sudah 10 tahun Refli dan istrinya belum juga mendapat kabar tentang keberadaan Fika. Kesedihan berangsur pulih karena disibukkan pekerjaan yang semakin berjibun. Usaha ayam potong mereka telah berkembang dengan pesat. Permintaan ayam potong setiap harinya semakin melonjak. Banyak gerai ayam chicken franchise terkenal menjadi pelanggan tetap mereka. 

Refli sudah menjadi direktur perusahaan sekarang. Dari usaha dagang menjadi perseroan terbatas adalah perjalanan penuh perjuangan dan pengorbanan. Istrinya tidak lagi aktif membantu bekerja. Dia menjadi ibu rumah tangga dan tinggal di sebuah rumah bak istana dengan banyak pembantu di dalamnya.

Suatu ketika, nada getar telepon membuyarkan konsentrasi Refli saat memimpin sebuah rapat manajemen. Biasanya dia tidak mau mengangkat telepon di saat sibuk seperti itu. Namun entah kenapa hari itu serasa ada yang mendorongnya untuk menerima panggilan telepon. Padahal rapat itu tengah membahas tindakan premanisme yang sering memalak perusahaan termasuk miliknya.

"Ya, halo?"

"Mohon maaf, saya mengganggu waktunya," ucap seorang pria di telepon.

"Ya ada apa? Dengan siapa?" tanya Refli ketus.

"Apa Bapak pernah kehilangan anak perempuan?"

Saat mendengar pertanyaan itu, Refli terpaku sejenak. Dia sudah lama tidak  mendengar orang menanyakan anak perempuannya lagi. Sudah hampir 20 tahun.

Refli memberhentikan rapat sejenak dan keluar dari ruangan sambil berbicara lewat telepon.

"Baik, baik, Pak. Kita akan bertemu di cafe itu jam 4.00 sore," balas Refli.

Sekitar 2 jam lamanya Refli harus menunggu di sebuah cafe yang dijanjikan si penelpon. Dia menunggu lebih awal karena sangat antusias mendengar kabar tentang puteri kesayangannya. Istrinya menyusul diantar oleh supir pribadi. Seorang bayi mungil digendong oleh baby sitter terlihat mengikuti dari belakang. Ya bayi itu adalah anak kedua mereka.

Sudah jam 4.30 namun sosok yang ditunggu belum juga muncul. Refli kembali menelepon balik tapi tak juga diangkat. Sudah 3 kali Refli menambah kopinya. Seorang wanita pelayan cafe sibuk bolak-balik mengantarkan makanan yang dipesan oleh pelanggan. Sesekali wanita yang matanya tidak bisa melihat itu menghibur Refli yang terlihat murung sejak dari siang.

Jam sudah menunjukkan 21.00 tapi orang yang ditunggu tidak kunjung datang. Nomor telepon yang dihubungi pun sudah tak aktif lagi.

"Pa, kita pulang saja sudah malam. Kasihan si kecil lama menunggu," ujar si istri sambil menyusui bayinya.

Refli bersikukuh  menunggu di cafe. Mereka pun larut berbincang-bincang dengan pelayan cafe yang ramah. Tak terasa mereka menunggu yang tak pasti karena gelak tawa dari cerita lucu gadis itu.

 "Maaf ya, kalo Tante lancang. Mata kamu tidak bisa melihat, kenapa?" tanya istri Refli penasaran.

"Ya itu Bu, dulunya bandel gak bisa diam. Kata ayah sih, mataku buta terpercik air soda api saat bermain dekat tukang cat."

"Ayahmu ada disini?"

"Beliau lagi sakit keras, Bu. Ada di rumah sakit," jawabnya, "Sebenarnya ayah yang punya cafe ini. Saya adalah puteri beliau."

"Oh, gitu. Ibumu ada?" tanya Refli.

Gadis muda yang bernama Ririn itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Bola matanya tetap terlihat cantik walau tak bisa melihat. 

Refli kemudian melihat jam dinding di cafe. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Cafe itu pun sudah mulai ditutup. Rasa kesal pada penelepon yang ingkar janji semakin besar. Semua kecewa namun masih terlihat bahagia karena pelayanan yang diberikan si gadis pelayan.

***

Sudah 3 bulan Refli dan istrinya tidak kembali ke cafe itu. Ada rasa rindu ingin bertemu dengan Ririn. Refli dan istrinya pun melaju ke sana lagi untuk berkunjung.

Suasana cafe terlihat lengang. Toko-toko di sampingnya juga tutup. Entah kenapa kawasan yang dulunya ramai terlihat seperti kawasan berhantu. Saat mereka akan berbalik pulang, tiba-tiba segerombolan geng motor menyerang sekelompok pemuda yang ternyata dari tadi sembunyi dari balik gang. Adu senjata tajam dan balok kayu pun terjadi. Dalam sekejap, banyak yang tumbang bergelimangan darah.

Di dalam mobil, Refli dan istrinya melihat kejadian yang mengerikan itu langsung di depan mata. Dari salah satu gang, muncullah seorang gadis berkacamata dengan topi dan jaket serba hitam dengan sebuah pemukul baseball di tangan kanannya.

"Serang!" perintah gadis itu.

Puluhan pemuda berlari mengejar geng motor yang terkepung. Jumlah mereka hampir berimbang. Api dari motor yang dibakar menggelora membuat suasana semakin mencekam. Mata Refli dan istrinya tertuju pada gadis pemberani itu.

"Pa, bukannya itu Ririn?" tanya istrinya pada Refli.

Mata Refli tak berkedip saat melihat kelihaian gadis yang ternyata mahir bela diri itu. Sudah beberapa orang musuh yang berhasil dia lumpuhkan seorang diri.

Sekitar 30 menit mereka menyaksikan tontonan yang mengerikan. Suara sirene dan tembakan ke udara beberapa kali membubarkan perang yang terjadi. Terlihat gadis yang bernama Ririn itu diborgol oleh petugas berseragam dan memasukkannya ke dalam mobil tahanan.  Refli dan istrinya mengikuti mobil itu ke kantor polisi.

Saat Refli dan istrinya menunggu di luar ruangan, mereka mendapatkan informasi yang mencengangkan. Ternyata Ririn yang mereka kenal sebagai gadis cantik namun cacat mata itu bukan orang sembarangan. Dia sudah lama menjadi buronan. Ayahnya dikenal sebagai ketua geng preman yang menguasai kawasan cafe dan sekitarnya. Kasus perebutan wilayah kekuasaan adalah sumber keributan yang sering terjadi dengan kelompok preman yang lain. Ririn menjadi ketua geng setelah ayahnya tewas dibunuh anggota geng lain dengan cara diracun saat berada di rumah sakit. Dia bersumpah untuk membalaskan dendamnya.

Refli dan istrinya diberikan waktu untuk berbincang dengan gadis itu sebelum dimasukkan ke dalam tahanan. Ada sedikit rasa takut saat mereka ingin berbicara dengannya. Keberingasan Ririn menghadapi lawan selalu terbayang di pikiran mereka.

Sedikit berbisik, Ririn berkata, " Maafin Fika, Pa, Ma."

"Hah?!"

Saat mendengar nama Fika sontak Refli dan istrinya kaget. Mereka tak pernah bercerita mengenai anak mereka yang pernah hilang kepada gadis itu.

Ririn menyeka air matanya yang menetes dengan tangan masih terborgol.

"Sebenarnya aku adalah anak yang sudah lama kalian cari. Aku juga baru tahu. Ayah yang pernah menelepon Papa itu sudah cerita  bahwa malam itu aku akan bertemu dengan orang tua kandung. Cafe adalah tempat kita bertemu pertama kali. Beliau jugalah yang memerintahkan aku untuk menjaga perusahaan Papa dan Mama dari gangguan preman lain selama ini," ungkap Fika alias Ririn.

"Lantas kenapa baru sekarang kami dikasih tahu?" tanya istri Refli sambil menitikkan air mata.

"Sebelum meninggal, ayah pernah cerita. Dulu aku adalah anak yang diculik oleh satu komplotan tapi kemudian diselamatkan oleh anak buahnya ayah. Saat perang antar geng terjadi, air keras mengenai mataku. Lama diobati sampai ke negeri seberang baru bisa pulih kembali. Namun mata sudah tak bisa melihat. Untung saja bola mata palsu ini masih bisa menghiasi wajah. Kemudian aku dibesarkan dan diajari bela diri di sana. Sebenarnya ayah sudah pernah coba menghubungi Papa lewat nomor telepon yang didapat dari tetangga namun gak pernah diangkat. Beliau mau menyampaikan kalau Fika sedang dirawat di Malaysia. Sementara waktu itu ayah sudah jadi buron jadi tak berani bertemu langsung."

"Fika...,"ucap ibunya lirih.

Tangisan Fika memancing air mata Refli untuk menetes. Hampir 20 tahun mereka menunggu kembalinya putri mereka itu. Tak ingin berpisah lagi, kedua orang tuanya memeluk erat gadis yang sekarang sudah menjadi serigala betina. Tak pernah terbayangkan mereka kalau Fika yang murah senyum sudah menjadi monster yang beringas di medan laga.

Sayangnya, kegembiraan mereka tidak akan berlangsung lama karena Fika alias Ririn terancam hukuman mati atas kejahatan yang dia lakukan bertahun-tahun. Takdir menetapkan mereka harus kehilangan putrinya untuk kedua kali. 

Fika tersenyum sudah bisa bertemu dengan orang tua kandungnya. Dia juga sudah puas menuntaskan dendam pada orang-orang yang membunuh ayah angkatnya. Preman tua yang melegenda itu  telah mendidiknya menjadi seekor serigala buas dan mengajarinya tentang harga diri. Fika sudah sangat siap untuk dihukum mati.

Beberapa wartawan mengambil foto dari balik jendela. Tampak wajah cantik Fika menghadap kamera dengan senyum yang menawan di tengah kedua orang tuanya yang masih memeluk.

Walau sambil menangis hebat, pikiran suami istri itu sedang mengatur siasat bagaimana menyelamatkan putrinya dari ancaman hukuman mati. 

"Bukankah hartamu bisa membutakan mata orang yang bisa melihat?" ucap bisikan gaib ke telinga mereka.

"Barangkali ada takdir yang diselipkan malaikat di tangan orang-orang di sini,"  lanjut bisikan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun