Bukan Cuma Mimpi Cuma-Cuma
(Oleh Irfan HT)
"Hore, hore..., kita dapat makan gratis,"Â teriak anak-anak kelas 6 di depan kantor guru.
"Hus, hus..., makanannya belum ada,"Â ujar Pak Bewok, panggilan seorang lelaki tua penjaga sekolah.
"Kapan Pak, kami makan siang gratis?"Â
"Tanya ibu yang disana dong, hehe...," balasnya berkelakar.
Semua anak-anak berlari ke ruangan kepala sekolah. Biasanya tidak ada yang berani masuk ke ruangan itu. Tapi kali ini mereka memberanikan diri bertanya perihal makan gratis yang barusan didengar.
Baru saja mengucapkan salam, salah satu guru kelas, Bu Retno, menghardik semua murid-murid yang berhamburan ingin masuk ke ruangan kepala sekolah.
"Hei, ada apa ini? Balik semua ke kelas!"
Sontak kaget mendengar suara guru yang dikenal galak, semua berlari kembali ke kelas masing-masing. Sebagian lagi mengendap-endap menuju kantin.
Hanya ada satu anak yang masih berdiri di depan ruang kepala sekolah. Matanya menatap sendu ke arah guru kelas.
"Ibu, beneran ada makan siang gratis di sekolah?"
"Lilis, Ibu gak tahu pasti, Nak. Ada rencana pemerintah katanya," balas gurunya.
"Oh, iya Ibu. Terima kasih."
Anak perempuan itu berjalan ke kelas sambil menenteng keranjang kecil berisi gorengan hasil masakan ibunya. Dia akan menjualnya pada teman-teman saat jam istrahat.
Sebenarnya para murid sudah dilarang untuk berjualan di sekolah. Kepala sekolah beberapa kali mengingatkan bahwa tugas mereka adalah belajar. Tugas mencari nafkah adalah kewajiban orang tuanya.
Hanya saja ada pengecualian yang diberikan kepada Lilis. Sejak ayahnya meninggal dan ibunya ditabrak orang hingga tak bisa berjalan, Lilis menyambi sebagai penjaja makanan. Daripada dia putus sekolah, kepala sekolah akhirnya mengijinkan. Â
Saat pulang, Lilis memberi salam tapi tak ada sahutan. Terlihat ibunya  sedang tertidur di atas tikar pandan bercapkan foto salah satu calon pimpinan daerah di kampung mereka. Ya, tikar itu katanya bantuan untuk masyarakat. Ibu Lilis senang rebahan di tikar itu. Katanya beda rasa dari yang dibeli sendiri. Yang gratis lebih nyaman.
Suara pintu kamar berderit membangunkan ibunya.
"Lilis, makan dulu, Nak," seru ibu kepada anaknya.
"Bu, sisa jualan masih banyak. Ada sepuluh lagi. Teman-teman di sekolah pada belanja di kantin," sahut Lilis sambil mengunyah sisa jualannya.
"Gak apa-apa, Nak. Lilis bisa berbagi sama teman-teman di pengajian."
Ibunya mengambil dua biji gorengan dari wadah dan ditaruh di atas piring. Sisanya dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil untuk dibawa putrinya ke masjid.
Lilis bergegas mengambil tas kemudian menyalam ibunya sebelum berangkat.
Pak Bewok yang merupakan penjaga sekolah adalah guru mengaji Lilis. Hidupnya sederhana bahkan kekurangan. Namun dia tidak pernah khawatir miskin karena mengajar ngaji gratis.
Setiap ditanya alasan, dia selalu menjawab, "Biarlah itu urusan saya dengan Tuhan."
Padahal istrinya selalu mengomel karena uang gaji hanya pas pasan jika mengandalkan pekerjaan utama sebagai penjaga sekolah.
"Semua barang-barang pada naek, semua mahal. Bensin naek, beras naek, cabe naek. Emosi pun ikut naek," celoteh si istri menyindir suaminya.
***
Bu Citra, kepala sekolah, sudah berada di ruangannya lebih awal. Semua anak-anak dikumpulkan di halaman. Guru, staf dan penjaga sekolah juga ikut mendengarkan pidato.
"Selamat pagi, anak-anak. Pagi yang cerah ini, Ibu ingin menyampaikan bahwa makan gratis itu masih direncanakan oleh pemerintah pusat. Belum tahu kapan. Kasih tahu orang tua kalian. Hampir setiap hari pesan WA masuk ke HP Ibu untuk bertanya. Orang tua yang jarang datang ke sekolah pun jadi sering bolak balik karena hal ini," tutur Bu Citra.
"Ada pertanyaan?"Â lanjutnya memberi kesempatan.
Semua barisan berisi murid-murid yang saling berbisik dengan teman di samping mereka.
"Hei, tanyain kita makan daging gak?"
"Pake susu gak?"
"Sosis jangan lupa, bilangin tuh," timpal murid lain.
Tak ada yang mengacungkan jari untuk bertanya. Semua diam kecuali Lilis.
"Maaf, Bu,"
"Ya, silahkan Lilis...."
"Bisa gak makan siangnya diganti dengan uang?"
Semua terperanjat mendengar pertanyaan Lilis sambil tertawa.
"Memang kenapa, Lis?"Â tanya Bu Citra penasaran.
"Biar ibu Lilis bisa beli beras, Bu."
"Emang beras di rumah gak ada?"
 "Kami jarang makan nasi. Harga beras semakin mahal. Kalo pun ada sedikit, ibu jarang makan karena lebih utamakan Lilis dulu," jawabnya lirih.
Semua terbawa perasaan. Mereka ikut bersedih. Ada guru dan murid yang ikut menyeka air mata mereka tak terkecuali kepala sekolah.
"Lilis, sudah, Lilis!"Â bisik Bu Retno ke arah murid pemberani itu.
"Biarkan saja, Bu Retno. Dia ingin menyampaikan isi hatinya yang terpendam selama ini,"Â hardik Bu Citra.
 Pak Bewok seketika melangkahkan kakinya maju untuk memeluk Lilis.
Tangis makin keras terdengar di lapangan upacara saat Lilis memeluk lelaki penjaga sekolah sekaligus guru mengajinya. Air matanya membasahi baju putih lelaki berbadan kurus itu. Dia meluapkan kerinduan mendalam pada ayah tercinta. Tangisnya pun menggelegar seperti orang yang ditinggal mati.
Pak Bewok menghadapkan wajah ke kepala sekolah.
"Mohon ijin, Bu Kepsek. Lilis pernah menanyakan pada saya saat mengaji, apakah makan siang gratis itu akan menyusahkan orang lain?"Â tanya Pak Bewok.
"Maksudnya Pak Bewok?"
Lilis sudah puas melepaskan tangisannya. Dia melepas pelukan Pak Bewok dan kemudian menghadapkan wajah ke Bu Citra.
"Bu, kalo makan gratis sudah ada, Lilis tidak bisa berjualan lagi. Orang-orang juga tidak mau ke kantin. Kasihan ibu-ibu yang jualan. Lilis berharap makan gratis itu seperti gratisnya mengaji dengan Pak Bewok, Â benar-benar membantu dan tidak ada yang merasa tersakiti. Semua jadi ikhlas," ujar Lilis.
Kepala sekolah dan semua guru menyimak apa yang disampaikan anak kecil itu. Teman-teman Lilis mulai gelisah karena terik matahari yang mulai menyengat. Semua barisan pun siap-siap dibubarkan. Namun, kepala sekolah menyampaikan pidato terakhirnya dan membuat semua yang mendengarkan terkesima.
"Mulai minggu depan kita adakan jajan gratis setiap hari Jumat di kantin. Bapak dan ibu guru yang mau berbagi dipersilahkan ikut. Kita gak perlu menunggu makan gratis dari pemerintah. Tapi jajan gratis ini hanya untuk murid yang rajin belajar di sekolah," tegas wanita tua itu.
Semua murid melompat-lompat sambil berteriak dengan girang.
"Bu, kami pengen berjualan seperti Lilis," ucap salah satu murid perempuan di baris kedua.
"Boleh...."
Bu Retno berbisik dari samping, "Bu, kan anak-anak tidak boleh berjualan di sekolah. Tugas mereka adalah belajar."
"Bu Retno, selagi anak-anak ini mau mengerjakan apa yang mereka sukai dan itu positif, biarkan saja. Jangan pupuskan mimpi mereka belajar apapun. Saya baru tersadar. Toh nanti murid-murid ini sekolah tinggi pasti diajarkan kewirausahaan. Padahal belum tentu semuanya punya minat wirausaha. Nah, mumpung masih kecil dan punya minat kenapa tidak dipupuk saja. Tugas kita membimbing dan mengingatkan," tegas Bu Citra.
Guru kelas itu hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan oleh pimpinannya.
Di sudut lain, Pak Bewok tidak fokus pada pidato kepala sekolah. Dia termenung dengan kata-kata istrinya tentang kenaikan harga barang pokok, bensin, dan lain-lain. "Padahal belum ada makan siang gratis ya," batinnya.
Barisan murid pun dibubarkan karena waktu jam belajar sudah dimulai.
***
Hari ini Jumat. Semua murid sudah hadir di sekolah lebih awal. Sesuai janji, kepala sekolah akan memberikan jajan gratis setiap minggunya di hari itu. Para guru yang ingin berbagi juga terlihat sedang merapikan bungkus makanan yang telah mereka siapkan dari rumah. Semua terlihat bersemangat di pagi yang cerah. Sehari sebelumnya, Lilis dan ibunya juga  sudah dititipkan uang oleh kepala sekolah untuk menyiapkan jajanan sebanyak murid di kelasnya.
Tiba-tiba, Pak Bewok datang dan berbisik pada guru-guru. Sontak semua menangis mendengar kabar duka. Guru perempuan saling berpelukan. Para murid heran tapi bercampur sedih melihat pemandangan itu.
Bu Retno naik ke mimbar upacara. Dia menyampaikan bahwa Bu Citra baru saja wafat saat perjalanan ke sekolah. Murid-murid yang mendengarkan berita duka itu pun menangis. Mereka merasa kehilangan pemimpin yang sangat menginspirasi. Pemimpin yang mau mendengarkan keluhan hati mereka tanpa memandang umur.
Pak Bewok dan guru-guru membagikan jajanan sambil berurai air mata. Lilis pun ikut membagikan gorengan yang sudah disiapkan gratis untuk teman-temannya. Beberapa dari mereka menggigit sepotong donat sembari menangis. Sebagian lagi mengunyah gorengan sambil mengusap air mata. Â
Bu Retno yang dikenal galak tak tampak menangis tapi hatinya tertampar oleh situasi pagi itu. Membimbing dan mengingatkan yang pernah disampaikan pimpinannya merupakan prinsip yang sepele namun kadang dia lupakan. Kebanyakan orang hanya mengingatkan tapi tidak membimbing dengan menjadi contoh. Ada yang hanya membimbing namun lupa mengingatkan saat ada masalah. Mereka hanya menyelesaikan apa yang ditugaskan tanpa mau peduli dengan masalah yang ada di depan mata di luar tugas mereka. Sepotong donat yang dia dan rekan-rekan kerjanya sedang cicipi pagi itu menjadi momen tak terlupakan. Itu menjadi pelajaran sangat berharga dalam menjalankan tugas di dunia pendidikan.
 "Lilis, ini beras 20 kg titipan dari almarhumah kepala sekolah," ujar Pak Bewok kepada Lilis setelah menyiapkan mobil operasional sekolah untuk membawa rombongan guru ke rumah duka.
***
Dua bulan kemudian, keluarga Bu Citra datang ke rumah Pak Bewok. Dari hasil rapat keluarga dan masukan dari suami almarhumah, Pak Bewok termasuk orang yang layak untuk menggantikan bangku Bu Citra yang telah ditunggu selama 20 tahun.
Di tangan Pak Bewok ada sepucuk amplop berwarna putih. Saat dibuka, dia terkejut sambil bertakbir berkali-kali membaca isinya. Seakan tidak percaya dia memastikan lagi kepada tamu istimewanya yang datang hari itu. Bukan mimpi lagi, sesuai doanya, Pak Bewok akan mengisi 1 kuota naik haji tahun ini menggantikan Bu Citra yang sudah berangkat terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H