Kali ini kening bu Ningsih berkernyit.
"Ya, itu hanya contoh yang mudah dipahami anak-anak, Rivai," jawab beliau meyakinkanku.
Aku tetap belum puas dengan jawabannya. Ingin sekali bertanya langsung pada penulis buku itu, Balai Pustaka. Tapi aku tak tahu harus menemuinya dimana.
***
Di tahun 2016, saat aku berstudi magister di Jakarta, Bu Ningsih menelponku dari kampung.
"Rivai, penulis buku yang kamu cari sudah ada di daerah Karet Bivak, Jakarta. Maaf ya, Nak. Ibu juga baru tahu," tegas beliau.
Namun saat melanjutkan bicaranya, Â "Lagi ada acara___,"suara terputus tiba-tiba.
"Setahuku Karet Bivak adalah lokasi pemakaman. Apa nanti aku tidak mengganggu orang yang sedang ada acara? Penulis itu ada acara apa ya di pemakaman?"ujarku dalam hati.
Kupacu sepeda motor menuju lokasi yang tak jauh dari tempat kuliahku. Sesampai disana, kulihat ada rombongan berkerumun. Tidak terlalu ramai. Namun aku baru sadar apakah orang yang kucari adalah pria atau wanita. Kutanya kembali lewat pesan singkat pada Bu Ningsih. Tak lama langsung dibalasnya.
 "Oh berarti dia wanita," sadarku dalam hati setelah membaca.
Kulirik kiri kanan untuk menanyakan nama penulis wanita yang kucari. Namun aku kaget saat kubaca sebuah nama di batu nisan yang baru ditancapkan oleh orang-orang disana. Kucocokkan nama yang dikirim lewat pesan tadi. Ternyata orang yang baru saja dikebumikan itu adalah orang yang selama ini kucari. Â