"A-ni,"
"A-ni Ka-kak Bu-di," lanjut temanku di depan dan kami ikuti lagi.
Otakku makin panas mendengarnya.
"Siapa lagi Ani ini sedangkan Budi masih misteri," pikirku.
Kubawa buku belajar membaca itu ke rumah. Aku tak bisa tidur kalau apa yang membuat pikiranku belum tuntas. Kucari nama penulis di bagian bawah sampul buku tapi tak ada satu pun. Disitu hanya tertulis nama Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
"Sepertinya penulis buku ini adalah  Balai Pustaka. Tapi dia laki-laki atau perempuan, ya?" bingungku bertambah.
Keesokan pagi, ibu guruku yang cerewet tapi baik hati masuk ke kelas kami. Beliau memeriksa apakah semua murid sudah mengerjakan PR atau belum. Kami ditugaskan untuk menulis kembali apa yang sudah dibaca di pertemuan sebelumnya.
Syukurnya semua murid telah selesai mengerjakan tugas. Kami memang takut dengan penggaris kayu guru. Konon katanya, penggaris itu sudah melegenda turun temurun dari kakek beliau yang juga seorang guru.
"Ayo anak-anak, satu per satu bercerita ya...," Â perintah Bu Ningsih, nama guru kami itu.
"Sebut satu nama orang. Bisa teman kalian atau siapapun yang suka membuat masalah pada kalian," lanjut beliau. Â
Semuanya terdiam tak ada yang menanggapi. Ada yang merasa tidak enakan pada kawan-kawan di kelas. Ada yang malu-malu tapi pengen ditemani kawan sebangkunya. Tapi tidak bagiku. Aku tunjuk tangan dan maju dengan berani. Semua terdiam sejenak. Kawan sekelasku khawatir kalau nama mereka kusebut sebagai orang yang membuat masalah.