Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harum meski tak Ranum

20 April 2024   20:54 Diperbarui: 22 April 2024   17:04 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Pixabay.com

Aku ibu beranak empat. Di usiaku yang ke-60, Pak Rusik, suamiku, datang menghampiri dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Entah angin apa, belum pernah kudengar kata-kata ini sebelumnya sejak kami menikah.

Ya, beliau memang beda 10 tahun denganku. Dia bukan orang yang romantis tapi sangat perhatian pada keluarga.

Urusan keluarga, suamiku punya aturan ketat yang harus dipatuhi semua orang di rumah. Hidup disiplin dan belajar keras adalah hal mendasar yang ditanamkan. Tidak heran kalau ketiga anakku berhasil meraih cita-cita sesuai harapan bapaknya.

Si sulung, cowok lulusan Akabri berpangkat letnan dua kini sebagai perwira militer di TNI Angkatan Laut. Yang kedua, cewek lulusan universitas Harvard dan bekerja sebagai manajer di bank swasta terkenal di Singapura. Si nomor tiga, cowok, hidupnya belum maksimal karena sifat anak yang satu ini beda dengan saudara-saudara yang lain. Yang bungsu, cewek doktor di bidang filsafat dan mengajar di kampus terkenal di Australia. 

Sudah hampir 5 tahun anak-anakku belum pernah berkunjung ke rumah baru kami bahkan setiap Lebaran tiba. Padahal, aku dan suamiku sudah lama merindukan mereka terutama cucu-cucuku tercinta.

"Mama, lapar, Ma...," teriak Fredi anak ketiga yang tinggal bersama kami selama ini. Hanya dia saja yang belum berkeluarga. Katanya mau membahagiakan kedua orangtuanya dulu.

Dibukanya tudung saji dan melihat hanya tersedia nasi dan sepiring tempe orek disambal.

"Biasanya ada ayam, Ma?"

"Mama belum ke pasar. Mama kurang sehat," jawabku.

Fredi pun keluar rumah dengan membawa gitarnya. Pak Rusik hanya terduduk lesu di kursi roda di depan pintu. Beliau sudah tidak bisa berjalan sejak terserang stroke 3 tahun yang lalu. Fredi kemudian mencium kening bapaknya itu dan berlalu.

"Nanti Fredi bawakan ayam bakar ya, Ma," teriaknya dari jauh.

Dia memang sering membawakan makanan ke rumah. Kami pun heran. Kerja saja dia tidak punya lantas dapat uang  darimana. Tapi kami bersyukur. Dalam kondisi ekonomi sulit saat ini, Fredi telah membantu membayar air, listrik dan kontrakan. Sementara anak-anakku yang lain katanya sudah sukses namun tidak pernah sekalipun membantu kami di rumah ini. Padahal, Pak Rusik sudah berhutang besar-besaran untuk mewujudkan cita-cita anaknya berkuliah di luar negeri dan masuk angkatan. Rumah di kawasan Menteng pun sudah dijual. Kami malah harus tinggal di kontrakan yang tidak terlalu luas namun cukup untuk  bertiga.

Aku pun sangat kasihan melihat anakku Fredi itu. Kuliah baru semester tiga  sudah drop out dan kerjanya tak jelas. Entah bagaimana masa depannya nanti. Semua saudaranya juga memandang rendah dirinya.

Hanya Fredi saja yang sering dipukul bapaknya karena malas bangun pagi dan bolos les di luar sekolah. Kegemarannya bermain game online kadang membuat bapaknya murka. Memang, beliau sangat keras saat masih aktif bekerja sebagai pejabat eselon 1 di kementerian keuangan. Akupun tak sampai hati melihat Fredi sering dipukul.

Dua hari berlalu, suamiku minta menghubungi anak-anak karena rindu pada mereka. Kulakukan tapi lagi dan lagi semua beralasan sibuk dan belum bisa datang berkunjung ke rumah. Mereka hanya bisa melakukan panggilan lewat video. Sedikit tidaknya itu sudah membantu meringankan rasa rindu kami berdua.

"Permisi," ada suara dari luar pintu rumah diiringi dengan suara ketukan.

Kubuka dan tampak dua orang pria berseragam polisi sedang mencari Fredi.

"Dia tidak ada di rumah. Ada apa dengan anak saya ya, Pak?"tanyaku tanpa ada jawaban.

Saya persilahkan mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Suamiku datang menghampiri dan berbicara dengan mereka.

Baru saja kubuat teh untuk tamu, kedua polisi itu sudah berpamitan pulang karena ada telepon mendadak memerintahkan mereka kembali ke kantor.

Setelah kututup pintu rumah, kudorong kursi roda suamiku ke dalam kamar  untuk merebahkan badannya yang sudah seharian  duduk.

"Ada apa dengan anak kita, Fredi, Pa?" tanyaku penasaran.

Pak Rusik hanya menggelengkan kepalanya. Beliau memandangku dengan serius.

"Hubungi anak-anak sekarang, Bu. Katakan kalau saya sudah meninggal dunia."

Saat akan bertanya alasannya kenapa, Pak Rusik menutup bibirku dengan jari telunjuknya sambil mengangguk sekali. Aku pun harus mengikutinya.

Keesokan hari, telepon berdering silih berganti. Si sulung disusul anak-anakku yang lain sibuk mencarikan tiket untuk pulang hari itu juga namun terkendala dengan jadwal penerbangan yang tertunda. Mereka pun hanya bisa pulang tanpa membawa keluarga masing-masing.

Saat menutup telpon, suamiku berkata di samping meja makan.

"Ma, Papa salah selama ini. Papa kira prestasi anak-anak akan membuat kita bahagia di masa tua," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kita lupa menanamkan moral kepada anak-anak, Bu. Kita lupa menekankan ilmu agama pada mereka."

Aku pun tersentak. Bagaimana tidak, itu harusnya tugasku seorang ibu rumah tangga yang selama ini hanya bergaya hidup hedon selama masa jaya suamiku. Aku pun terbawa emosi, tangisku meledak sambil memeluknya.

"Maafkan Mama, Pa, ini salah Mama," timpalku sambil tak henti menangis.

Fredi tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar. Dia ternyata mendengar apa yang sudah kami bicarakan. Pura-pura tidak mendengar, dia berusaha mencairkan suasana.

"Pa, Ma, ini Bika Ambon kesukaan Papa dan Mama," kilahnya.

Seketika aungan mobil polisi berkumpul di depan rumah. Kuintip dari jendela beberapa polisi berjaga di kerumunan warga yang ingin masuk ke halaman rumah kami. Aku pun panik. Namun, Fredi dan bapaknya santai saja seakan tidak ada masalah.

"Permisi. Buka pintu," teriak salah satu seorang pria dari luar.

Fredi segera membukakan pintu sambil tersenyum padaku. Baru saja dibuka, beberapa petugas sudah menyergap dan memborgolnya. Tampak beberapa wartawan juga ingin mewawancarai namun tidak ditanggapi oleh Fredi. Dia hanya tersenyum kecil.

"Tunggu sebentar, Pak," hardik suamiku.

"Tolong, ijinkan dia bertemu dengan saudara-saudaranya sebentar lagi akan datang."

Polisi pun mengangguk tanda setuju.

Benar saja, tak lama, si sulung datang dengan pakaian militer dan tongkat komandonya. Dia kaget kenapa kematian bapaknya dihadiri banyak polisi. Tak berselang lama si nomor dua terus saja bertelponan tak peduli orang lain sedang berkumpul ramai. Sedangkan si bungsu sudah menangis sedih sejak turun dari taksi.

Dengan gagah, si sulung berdiri dan menatap tajam mata adiknya, Fredi, yang sedang terborgol.

"Dari dulu hidupmu selalu buat masalah. Entah kapan kau tidak membuat pikiran Papa dan Mama," bentaknya tegas.

"Mama juga, kenapa harus berbohong kalau Papa meninggal? Tahu kan kita betul-betul sibuk dengan kerjaan masing-masing?" timpal kakaknya yang kedua padaku sambil terus bertelponan.

Si bungsu yang sejak masuk rumah sudah menangis pun ikut kesal karena papanya masih kelihatan baik-baik saja. Sorot matanya juga sinis padaku.

Salah satu wartawan datang menghampiri suamiku dan mewawancarai beliau.

"Jadi, apakah Bapak tahu kalo Fredi sudah lama menjadi buronan polisi?"

"Ya," jawab beliau dengan tegas.

Semua mata tertuju pada Pak Rusik dan  merasa tak percaya dengan apa yang barusan dikatakannya. Tidak terkecuali aku sendiri.

"Dengar semuanya. Fredi memang penjahat. Dia seorang hacker. Rekening-rekening pengusaha dan pejabat yang korup berhasil dibobolnya. Uangnya dia transfer sebagian untuk donasi bantuan Palestina."

"Kurang ajar kamu membuat malu keluarga," bentak si sulung sambil menodongkan tongkat komandonya ke hadapan adiknya itu.

"Diam," sahut suamiku.

"Ya, memang dia kurang ajar sudah membuat malu kita semua, Pa," kilah dua saudaranya yang lain.

"Diam kalian semuanya. Kalian tidak tahu kalau Papa berhutang ke bank sampai saat ini  dengan dana terpotong besar karena apa? Karena sekolah tinggi dan cita-cita kalian! Bahkan sampai pensiun!" bentak papanya.

"Kalian hanya sibuk memikirkan diri dan keluarga kalian masing-masing. Apa kalian tahu siapa yang bayar tagihan listrik, air, kontrakan dan pengobatanku setiap bulan? Apa pernah kalian mengirim sepeserpun setelah kalian sukses? Fredi yang kalian hina pengangguran itulah yang berada di balik layar!"

"Sejak polisi datang kesini sebelumnya, aku sudah berpikir untuk memaksa kalian pulang. Aku ingin kalian tahu bagaimana kondisi saudara kalian yang satu ini," lanjut beliau.

"Mumpung masih hidup. Karena kalian hanya akan kembali ketika orang sudah mati," tutup Pak Rusik dengan wajah sedikit memerah memendam amarah.

Semua terdiam dan sontak kaget dengan apa yang telah diutarakan oleh bapaknya anak-anak. Perasaan malu dihadapan orang banyak menyurutkan saudara-saudara Fredi mengeluarkan air mata lagi.

Tiba-tiba suamiku itu mendadak terkena serangan jantung dan kemudian pingsan di kursi rodanya. Aku panik dan menangis keras. Ketiga anakku pun ikut menangis lebih keras. Namun, polisi tetap menggiring Fredi anakku itu keluar rumah. Fredi memandang wajah bapaknya, aku, dan saudara yang lain dengan senyuman.

Saat akan dimasukkan ke dalam mobil polisi, semua anak-anakku yang lain berlari mengejar Fredi dan merangkulnya.

"Maafin kami, Fredi...," ucap abang dan kakaknya.

"Maafin aku, Bang. Maafin Bang, aku uda banyak dosa ama mu, "timpal si bungsu adiknya.

Sekali lagi Fredi hanya tersenyum manis. Kulihat dia memandang wajahku ke arah jendela. Mobil pun melaju pelan-pelan pergi meninggalkan kerumunan dan air mata. Teriakan orang-orang di pinggir gang pun terdengar. Ternyata mereka telah mengetahui berita penangkapan Fredi.

"Hidup Fredi! Kami bersamamu Fredi. Tetaplah berjuang untuk saudaramu...," ucap salah satu warga yang kemudian disusul takbir berkali-kali oleh warga lainnya.

Luar biasa harum anakku itu di mata warga padahal hidupnya belum ranum. Kulanjutkan untuk mengurus jenazah suamiku yang sudah membujur kaku. Semua anak-anakku yang lain masih saja menangis dan terus menangis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun