"Sejak polisi datang kesini sebelumnya, aku sudah berpikir untuk memaksa kalian pulang. Aku ingin kalian tahu bagaimana kondisi saudara kalian yang satu ini," lanjut beliau.
"Mumpung masih hidup. Karena kalian hanya akan kembali ketika orang sudah mati," tutup Pak Rusik dengan wajah sedikit memerah memendam amarah.
Semua terdiam dan sontak kaget dengan apa yang telah diutarakan oleh bapaknya anak-anak. Perasaan malu dihadapan orang banyak menyurutkan saudara-saudara Fredi mengeluarkan air mata lagi.
Tiba-tiba suamiku itu mendadak terkena serangan jantung dan kemudian pingsan di kursi rodanya. Aku panik dan menangis keras. Ketiga anakku pun ikut menangis lebih keras. Namun, polisi tetap menggiring Fredi anakku itu keluar rumah. Fredi memandang wajah bapaknya, aku, dan saudara yang lain dengan senyuman.
Saat akan dimasukkan ke dalam mobil polisi, semua anak-anakku yang lain berlari mengejar Fredi dan merangkulnya.
"Maafin kami, Fredi...," ucap abang dan kakaknya.
"Maafin aku, Bang. Maafin Bang, aku uda banyak dosa ama mu, "timpal si bungsu adiknya.
Sekali lagi Fredi hanya tersenyum manis. Kulihat dia memandang wajahku ke arah jendela. Mobil pun melaju pelan-pelan pergi meninggalkan kerumunan dan air mata. Teriakan orang-orang di pinggir gang pun terdengar. Ternyata mereka telah mengetahui berita penangkapan Fredi.
"Hidup Fredi! Kami bersamamu Fredi. Tetaplah berjuang untuk saudaramu...," ucap salah satu warga yang kemudian disusul takbir berkali-kali oleh warga lainnya.
Luar biasa harum anakku itu di mata warga padahal hidupnya belum ranum. Kulanjutkan untuk mengurus jenazah suamiku yang sudah membujur kaku. Semua anak-anakku yang lain masih saja menangis dan terus menangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H