"Ada apa dengan anak kita, Fredi, Pa?" tanyaku penasaran.
Pak Rusik hanya menggelengkan kepalanya. Beliau memandangku dengan serius.
"Hubungi anak-anak sekarang, Bu. Katakan kalau saya sudah meninggal dunia."
Saat akan bertanya alasannya kenapa, Pak Rusik menutup bibirku dengan jari telunjuknya sambil mengangguk sekali. Aku pun harus mengikutinya.
Keesokan hari, telepon berdering silih berganti. Si sulung disusul anak-anakku yang lain sibuk mencarikan tiket untuk pulang hari itu juga namun terkendala dengan jadwal penerbangan yang tertunda. Mereka pun hanya bisa pulang tanpa membawa keluarga masing-masing.
Saat menutup telpon, suamiku berkata di samping meja makan.
"Ma, Papa salah selama ini. Papa kira prestasi anak-anak akan membuat kita bahagia di masa tua," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kita lupa menanamkan moral kepada anak-anak, Bu. Kita lupa menekankan ilmu agama pada mereka."
Aku pun tersentak. Bagaimana tidak, itu harusnya tugasku seorang ibu rumah tangga yang selama ini hanya bergaya hidup hedon selama masa jaya suamiku. Aku pun terbawa emosi, tangisku meledak sambil memeluknya.
"Maafkan Mama, Pa, ini salah Mama," timpalku sambil tak henti menangis.
Fredi tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar. Dia ternyata mendengar apa yang sudah kami bicarakan. Pura-pura tidak mendengar, dia berusaha mencairkan suasana.