"Pa, Ma, ini Bika Ambon kesukaan Papa dan Mama," kilahnya.
Seketika aungan mobil polisi berkumpul di depan rumah. Kuintip dari jendela beberapa polisi berjaga di kerumunan warga yang ingin masuk ke halaman rumah kami. Aku pun panik. Namun, Fredi dan bapaknya santai saja seakan tidak ada masalah.
"Permisi. Buka pintu," teriak salah satu seorang pria dari luar.
Fredi segera membukakan pintu sambil tersenyum padaku. Baru saja dibuka, beberapa petugas sudah menyergap dan memborgolnya. Tampak beberapa wartawan juga ingin mewawancarai namun tidak ditanggapi oleh Fredi. Dia hanya tersenyum kecil.
"Tunggu sebentar, Pak," hardik suamiku.
"Tolong, ijinkan dia bertemu dengan saudara-saudaranya sebentar lagi akan datang."
Polisi pun mengangguk tanda setuju.
Benar saja, tak lama, si sulung datang dengan pakaian militer dan tongkat komandonya. Dia kaget kenapa kematian bapaknya dihadiri banyak polisi. Tak berselang lama si nomor dua terus saja bertelponan tak peduli orang lain sedang berkumpul ramai. Sedangkan si bungsu sudah menangis sedih sejak turun dari taksi.
Dengan gagah, si sulung berdiri dan menatap tajam mata adiknya, Fredi, yang sedang terborgol.
"Dari dulu hidupmu selalu buat masalah. Entah kapan kau tidak membuat pikiran Papa dan Mama," bentaknya tegas.
"Mama juga, kenapa harus berbohong kalau Papa meninggal? Tahu kan kita betul-betul sibuk dengan kerjaan masing-masing?" timpal kakaknya yang kedua padaku sambil terus bertelponan.