"Mama, kapan kita beli mobil?" kata-kata Yuri selalu membayang di pikiranku.
Sudah 5 tahun aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di Taiwan. Tahun ini adalah tahun terakhir sesuai kontrak lanjutan. Hati senang sekali akan bertemu putri tersayangku itu.
Pesawat Eva Air yang kutumpangi sedikit berguncang saat lepas landas. Aku hanya berdoa semoga selamat sampai tujuan.
"Selamat tinggal Taipei," ucapku sambil melambai dari jendela.
Kupandangi foto Yuri yang ada di dompet dan membayangkan sudah sebesar apa badannya sekarang. Terakhir foto yang dikirim adalah saat Yuri berusia 5 tahun. Berarti Yuri sudah berusia 10 Â tahun saat ini.
Yuri tinggal dengan keluarga suami baruku, bapak tiri Yuri. Suami yang pertama sudah menghilang tak ada kabar sejak merantau ke Sulawesi. Katanya ikut menambang emas disana. Sudah 4 tahun berlalu namun tidak pernah berkabar lagi. Sampai akhirnya aku bertemu Mas Gion, yang kemudian berani melamarku.
Mas Gion bukanlah lelaki impian. Sifat pemalasnya tak bisa hilang. Namun, keluarganya sangat perhatian pada Yuri dan menganggap putriku itu sebagai bagian keluarganya. Aku pun akhirnya terima saja lamaran Mas Gion.
Karena Mas Gion juga tidak bisa memberikan nafkah yang layak buat kami, aku kemudian terpaksa bekerja ke luar negeri sebagi asisten rumah tangga. Ya, pembantu di rumah orang kaya di kota Taipei, Taiwan.Â
Setiap bulan kukirim gajiku untuk ditabung oleh Mas Gion sebesar 8 juta rupiah. Dua juta rupiah kupakai untuk biaya hidup walaupun pas-pasan. Tapi demi keluarga aku rela.
Mas Gion berencana memperbaiki rumah di kampung dan mendirikan warung kelontong. Aku pun semangat bekerja.
Kuingat saat Mas Gion menelpon dulu, Yuri disampingnya bertanya, "Mama, kapan baliknya? Kapan kita beli mobil, Ma? Kata-kata itu selalu kuingat. Sakitnya hidup kurasakan di negeri orang tak ingin kuceritakan pada keluarga terlebih pada putriku itu. Ibunya Mas Gion juga selalu menyemangatiku untuk bertahan.
Namun, Â sejak dikabarkan bahwa ibu mertuaku yang baru itu telah meninggal dunia karena sakit, semakin jarang aku bisa komunikasi dengan Mas Gion dan Yuri. Alasannya sibuk mengurus anak karena tak ada lagi ibu yang biasa menjaga.
Mas Gion hanya akan menelpon singkat kalau butuh uang saja untuk jajan Yuri, bayar sekolah, dan tambahan material bangunan rumah. Itupun aku tak punya kesempatan berbicara dengan Yuri.
Sebenarnya hatiku sedih tapi apa mau dikata situasi memang tak memungkinkan. Mas Gion tentu berjuang keras untuk menjaga Yuri disana belum lagi mengawasi pembangunan rumah yang kami impikan bersama.
Pesawat hampir tiba di bandara Sukarno Hatta sekitar 5 jam berangkat dari bandara Taoyuan. Hatiku makin berdebar merindukan Yuri dan Mas Gion.
"Mereka pasti kaget aku pulang gak kasih kabar," ujarku dalam hati.
Kubuka kembali HPku dan mencari-cari showroom mobil bekas yang sudah kutandai. Perjalanan hanya satu setengah jam dari bandara ke Cibitung. Mobil Avanza tahun 2008 seharga 75 juta rupiah sudah kuimpikan agar Yuri bisa jalan-jalan dan tidak dihina oleh teman-temannya di kampung. Ya, orang-orang di kampung berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta sehingga warga perempuannya banyak yang menjadi pahlawan devisa di negeri lain.
"Kring, kring." HP jadulku berbunyi. Kulihat Mas Gion menelpon. Aku pura-pura sedang berada di Taiwan untuk mengejutkannya.
"Halo, Mas...."
"Dek, Mas perlu uang lagi. Semen dan pasirnya masih kurang. Batu-batanya juga perlu ditambah."
Aku nyengir saja. Sebentar lagi dia akan kaget kedatanganku. Tapi aku pura-pura mengiyakan. Seperti biasa komunikasi berjalan singkat karena diputus oleh Mas Gion. Kulanjutkan perjalananku dengan menaiki bus Damri.
Sesampai di Cibitung, kutemui pemilik showroom mobil. Karena sudah melakukan tanya-jawab lewat WA, aku mudah saja bertransaksi langsung tidak pakai lama. Kubayar uang muka 20 juta dulu. Sisanya dibayar saat aku, Yuri dan Mas Gion datang kembali menjemput mobil itu.
Sebenarnya uang kubawa sebanyak 150 juta hasil bonus. Hanya 25 juta saja yang kupegang dan sisanya kutabung di bank. Dua puluh juta untuk bayar uang muka mobil dan tinggal 5 juta  buat beli oleh-oleh.Â
Kuambil kwitansi dan bergegas pulang dengan hati senang.
Aku mampir ke Bekasi  membeli mainan untuk Yuri dan beberapa stel pakaian untuk Mas Gion. Pulangnya aku naik kereta api menuju Indramayu, kampung Mas Gion.
Rindu pada suasana desa membuatku bahagia. Sawah-sawah dan ladang pertanian sudah banyak yang berubah menjadi kawasan perumahan. Aku pun penasaran seperti apa rumah yang telah dibangun oleh Mas Gion.
Di persimpangan menuju ke rumah, kuberdiri sejenak memandang sebuah gapura menuju kompleks pemakaman.
"Disini kayaknya ibu Mas Gion dikebumikan," ujarku menerka.
Kulanjut berjalan. Rasa bahagia sudah tak tertahankan lagi. Ingin kuteriak memanggil nama Yuri anakku. Sudah besar pastinya.
Kutatap rumah kami tapi tak melihat ada bekas perbaikan apalagi pembangunan.
"Ah mungkin Mas Gion membangun rumah di tanah di belakang," gumamku penuh harap tapi cemas.
Tak juga ada sekeliling bekas batu, pasir dan material bangunan. Badanku menjadi lemas.
Kupanggil Mas Gion dan Yuri tapi tak ada yang menyahut. Kupanggil tetangga tapi tidak ada yang keluar rumah karena semua mungkin ke sawah.
Kumasuki rumah dengan pintu tak terkunci. Kaget bukan main rumah berantakan dan hampir tak ada barang satu pun. Televisi, lemari pakaian, meja dan sofa di ruang tamu yang dulu dibelikan Mas Gion tak terlihat. Ranjang tidur pun demikan.
Aku masih berpikir positif. Mungkin Yuri dan Mas Gion membangun rumah di tempat yang lain. Jadi, barang-barang pun dipindahkan di tempat baru.
Kemudian aku duduk di teras dengan tubuh yang capek dan kepala sedikit pusing. Kulihat sebuah mobil mainan di depan teras terikat tali. Aku senyum mengingat Yuri dan mimpinya untuk menaiki mobil sendiri.
Tiba-tiba lamunanku buyar dikagetkan suara dari samping rumah. Nenek Jumintan yang sering kupanggil dengan sebutan Nenek Jum berteriak histeris.
"Mirna, kau pulang, Nak?" ucapnya sambil menangis.
"Iya Nek Jum. Apa kabar?"Â
Nenek Jum hanya terdiam sambil terus menghapus air matanya. Aku pun menuju ke rumah beliau. Kuelus pundaknya yang sudah membungkuk dan menyeka air matanya.
"Nek, Yuri dan Mas Gion dimana?"
Tangisan Nek Jum semakin keras sambil memukul-mukul dadaku dengan tangan lemahnya. Aku pun semakin bingung.
"Yuri sudah lama pergi, Mirna...," semakin keras tangisannya.
"Maksudnya pergi kemana, Nek?"
"Yuri sudah lama meninggal."Â
Mataku terbelalak, badanku kaku seakan tak percaya apa yang dikatakan nenek itu.
"Yuri sudah lama sakit, Mirna. Kamu kemana saja. Kenapa tidak tahu kalau anakmu sakit keras?"
"Mas Gion gak pernah cerita, Nek, kalo Yuri pernah sakit keras," hardikku masih tak percaya.
Karena kerasnya suara Nek Jum, semua tetangga yang lewat mampir ke rumah itu. Semua menyapaku dan mengucapkan belasungkawa.
Aku pun tak bisa menahan diri lagi. Air mataku pecah sehebat-hebatnya. Aku teriak histeris memanggil nama putri kesayanganku itu.
"Yuri, Yuri, ini Mama pulang, Nak."
Nek Jum menarik tanganku dan menuntun ke persimpangan jalan. Beberapa warga mengikuti dari belakang. Beliau menunjukkan kompleks pemakaman yang kulihat tadi. Ternyata itu adalah tempat tinggal anakku selamanya. Aku hampir pingsan dan harus dibopong menuju batu nisan Yuri.
Kulihat tanggal dikebumikannya Yuri di batu itu. Ternyata sudah 2 tahun dia meninggal dunia dan aku tak tahu karena tidak pernah dikabari. Badanku jatuh di tanah kuburan putriku. Lututku terasa tak berdaya lagi menopang badan yang kurus.
Orang-orang berusaha menenangkan namun aku tak peduli. Ingin rasanya aku mati bersama anakku itu. Kuambil tas dan mengeluarkan kwitansi yang kubawa tadi.
"Yuri, ini Mama sudah belikan mobil untuk kamu, Nak."
"Yuri, warnanya sama seperti Yuri minta, kan?."
"Mama gak pernah bohong sama kamu, Nak. Ini Mama sudah datang. Jangan tinggalkan Mama, Yuri..."
Kurobek kwitansi itu karena tak ada gunanya lagi. Seketika marahku memuncak pada Mas Gion. Aku sudah terlalu mempercayainya untuk merawat Yuri. Tapi kecewa besar dan dendam menghujam lelaki tak tahu diri itu.
"Mas Gion dimana, Nek?" tanyaku.
Aku merasa sudah tak dihargai lagi. Sebagian besar gajiku sudah kuserahkan pada lelaki pengangguran itu. Aku telah berusaha untuk menjadi pahlawan di keluarga namun tak pernah dihargai.
"Sejak ibunya Gion meninggal, dia sering mabuk-mabukan, " kilah Nek Jum.
"Satu per satu harta habis terjual untuk pesta sabunya."
"Yuri pun sudah tak terawat lagi. Jarang dikasih makan dan dikurung di rumah," lanjut Nek Jum.
"Semua orang di kampung ini sudah berusaha membantu Yuri. Namun, perilaku Gion semakin bengis jika ada yang ikut campur masalah keluarganya."
Marahku memuncak. Emosiku sudah tak tertahankan. Kugenggam batu dan ingin melempar lelaki biadab itu.
"Gion sudah 2 tahun di penjara karena menjual narkoba," bisik Nek Jum.
Nenek Jum menunjuk batu nisan ibu Gion yang berada tidak jauh dari makam Yuri. Mataku memerah melotot pada batu nisan yang ditunjuk itu.
"Kau melahirkan anak berhati Iblis, Bu. Sampai matiku pun tak akan memaafkannya," ucapku dengan nada tegas di depan banyak orang.
Semua perlahan meninggalkan lokasi kuburan termasuk Nenek Jum. Aku masih duduk menemani putriku yang sudah kutinggal selama 5 tahun. Kumainkan mobil-mobilan yang kuambil dari teras  rumah tadi.
"Yuri, ayo kita jalan-jalan naik mobilnya," ujarku sambil tertawa sambil sesekali menangis.
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H