"Yuri, ini Mama sudah belikan mobil untuk kamu, Nak."
"Yuri, warnanya sama seperti Yuri minta, kan?."
"Mama gak pernah bohong sama kamu, Nak. Ini Mama sudah datang. Jangan tinggalkan Mama, Yuri..."
Kurobek kwitansi itu karena tak ada gunanya lagi. Seketika marahku memuncak pada Mas Gion. Aku sudah terlalu mempercayainya untuk merawat Yuri. Tapi kecewa besar dan dendam menghujam lelaki tak tahu diri itu.
"Mas Gion dimana, Nek?" tanyaku.
Aku merasa sudah tak dihargai lagi. Sebagian besar gajiku sudah kuserahkan pada lelaki pengangguran itu. Aku telah berusaha untuk menjadi pahlawan di keluarga namun tak pernah dihargai.
"Sejak ibunya Gion meninggal, dia sering mabuk-mabukan, " kilah Nek Jum.
"Satu per satu harta habis terjual untuk pesta sabunya."
"Yuri pun sudah tak terawat lagi. Jarang dikasih makan dan dikurung di rumah," lanjut Nek Jum.
"Semua orang di kampung ini sudah berusaha membantu Yuri. Namun, perilaku Gion semakin bengis jika ada yang ikut campur masalah keluarganya."
Marahku memuncak. Emosiku sudah tak tertahankan. Kugenggam batu dan ingin melempar lelaki biadab itu.