"Maksudnya pergi kemana, Nek?"
"Yuri sudah lama meninggal."Â
Mataku terbelalak, badanku kaku seakan tak percaya apa yang dikatakan nenek itu.
"Yuri sudah lama sakit, Mirna. Kamu kemana saja. Kenapa tidak tahu kalau anakmu sakit keras?"
"Mas Gion gak pernah cerita, Nek, kalo Yuri pernah sakit keras," hardikku masih tak percaya.
Karena kerasnya suara Nek Jum, semua tetangga yang lewat mampir ke rumah itu. Semua menyapaku dan mengucapkan belasungkawa.
Aku pun tak bisa menahan diri lagi. Air mataku pecah sehebat-hebatnya. Aku teriak histeris memanggil nama putri kesayanganku itu.
"Yuri, Yuri, ini Mama pulang, Nak."
Nek Jum menarik tanganku dan menuntun ke persimpangan jalan. Beberapa warga mengikuti dari belakang. Beliau menunjukkan kompleks pemakaman yang kulihat tadi. Ternyata itu adalah tempat tinggal anakku selamanya. Aku hampir pingsan dan harus dibopong menuju batu nisan Yuri.
Kulihat tanggal dikebumikannya Yuri di batu itu. Ternyata sudah 2 tahun dia meninggal dunia dan aku tak tahu karena tidak pernah dikabari. Badanku jatuh di tanah kuburan putriku. Lututku terasa tak berdaya lagi menopang badan yang kurus.
Orang-orang berusaha menenangkan namun aku tak peduli. Ingin rasanya aku mati bersama anakku itu. Kuambil tas dan mengeluarkan kwitansi yang kubawa tadi.