Kuingat saat Mas Gion menelpon dulu, Yuri disampingnya bertanya, "Mama, kapan baliknya? Kapan kita beli mobil, Ma? Kata-kata itu selalu kuingat. Sakitnya hidup kurasakan di negeri orang tak ingin kuceritakan pada keluarga terlebih pada putriku itu. Ibunya Mas Gion juga selalu menyemangatiku untuk bertahan.
Namun, Â sejak dikabarkan bahwa ibu mertuaku yang baru itu telah meninggal dunia karena sakit, semakin jarang aku bisa komunikasi dengan Mas Gion dan Yuri. Alasannya sibuk mengurus anak karena tak ada lagi ibu yang biasa menjaga.
Mas Gion hanya akan menelpon singkat kalau butuh uang saja untuk jajan Yuri, bayar sekolah, dan tambahan material bangunan rumah. Itupun aku tak punya kesempatan berbicara dengan Yuri.
Sebenarnya hatiku sedih tapi apa mau dikata situasi memang tak memungkinkan. Mas Gion tentu berjuang keras untuk menjaga Yuri disana belum lagi mengawasi pembangunan rumah yang kami impikan bersama.
Pesawat hampir tiba di bandara Sukarno Hatta sekitar 5 jam berangkat dari bandara Taoyuan. Hatiku makin berdebar merindukan Yuri dan Mas Gion.
"Mereka pasti kaget aku pulang gak kasih kabar," ujarku dalam hati.
Kubuka kembali HPku dan mencari-cari showroom mobil bekas yang sudah kutandai. Perjalanan hanya satu setengah jam dari bandara ke Cibitung. Mobil Avanza tahun 2008 seharga 75 juta rupiah sudah kuimpikan agar Yuri bisa jalan-jalan dan tidak dihina oleh teman-temannya di kampung. Ya, orang-orang di kampung berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta sehingga warga perempuannya banyak yang menjadi pahlawan devisa di negeri lain.
"Kring, kring." HP jadulku berbunyi. Kulihat Mas Gion menelpon. Aku pura-pura sedang berada di Taiwan untuk mengejutkannya.
"Halo, Mas...."
"Dek, Mas perlu uang lagi. Semen dan pasirnya masih kurang. Batu-batanya juga perlu ditambah."
Aku nyengir saja. Sebentar lagi dia akan kaget kedatanganku. Tapi aku pura-pura mengiyakan. Seperti biasa komunikasi berjalan singkat karena diputus oleh Mas Gion. Kulanjutkan perjalananku dengan menaiki bus Damri.