Saat mengayuh sepeda tuanya, Pak Leo berteriak dari jauh, "Jadilah orang yang bermanfaat suatu saat, Man!"
Ucapan Pak Leo yang terakhir inilah yang meyakinkanku untuk tetap bercita-cita menjadi presiden di negeri ini. Bahkan aku juga bisa mengatur waktu untuk menjadi rektor di kampusnya.
"Bukankah seorang penguasa bisa lakukan apa saja? Apalagi hanya sambilan menjadi rektor" anggapku remeh.
Tak terasa perjalanan sudah di ujung gang menuju tempat tinggalku. Anak-anak kampung berteriak menyambut kegirangan.
"Orang gila, orang gila, orang gila," seru mereka serentak.
Salah satu dari mereka memukul-mukul kaleng dengan menyesuaikan irama teriakan bocah-bocah kecil yang berjalan mengikuti langkahku menuju tempat tinggal.
"Dang, dang, dang," suara kaleng yang dipukul itu berhenti saat langkah kakiku juga berhenti dan akan berbunyi lagi saat lanjut berjalan.
Bagiku, penyambutan yang diberikan oleh bocah-bocah itu adalah bentuk penghormatan. Penghormatan bagi calon pemimpin mereka di masa depan. Begitulah cara anak kecil menunjukkan rasa hormat dengan cara kegirangan.
"Ya, aku gila. Aku akan menjadi presiden untuk orang-orang gila. Jika bukan aku siapa lagi yang akan mengurusi mereka di negeri ini?" ujarku dalam hati merasa terpanggil.
Aku bersyukur bocah-bocah ini telah mendukung cita-citaku. Rasa percaya diri semakin mendalam saat bertemu dengan Mak Mijah. Semua bocah terdiam karena dibentak olehnya,
"Hus, bubar, bubar semua," teriak beliau sambil membukakan pintu kayu yang lapuk untuk kulalui.