"Silahkan masuk, Man," sambung perempuan paroh baya itu.
Dalam hati aku berpikir, "Kenapa mak Mijah ikut-ikutan memberi penghormatan tidak seperti biasanya ya?" aku semakin tersanjung.
"Apakah penobatanku sebagai pemimpin negeri ini sudah semakin dekat waktunya?" pikirku lagi.
"Jangan-jangan besok aku dilantik."Â
Tiba-tiba aku teringat dengan omongan pak Leo di kampus tadi sore. Tidak seperti biasanya rektorku itu memberikan pesan yang sangat menohok.
Aku semakin yakin. "Sepertinya besok aku akan diwisuda oleh pak Leo dan dilantik menjadi presiden," gumamku.
Perlahan Mak Mijah meninggalkan tempat dimana aku berbaring. Suara tevenya terdengar tidak seperti biasa. Semakin lama semakin keras saja.
"Apakah Mak Mijah sudah semakin tua dan pendengarannya berkurang?" ujarku dalam hati.
Lagi-lagi aku tak peduli. Prioritasku yaitu menjadi presiden di negeri ini.
Sejak dua muda-mudi yang berbicara mengenai beasiswa di kampusku tadi, semakin aku tertantang untuk menjadi pemimpin di negeri ini.
"Tapi kenapa suara Mak Mijah tidak kedengaran satu malam ini ya?" ketusku.