Tegakah mereka mendengar kalau infrastruktur kesehatan di daerah terpencil tidak terbangun karena anggaran terbatas? Tidak ada anggaran lebih untuk penanganan kurang gizi apalagi masalah kesejahteraan ekonomi. Anggaran lebih difokuskan pada bidang pendidikan, ya salah satunya beasiswa. Tidak tahu ataukah memang muda-mudi itu sudah gila?" Aku terdiam sejenak.
Dulu, aku suka melamun dan menghayal untuk menjadi seorang duta besar. Itu dulu. Tapi sekarang ku tak mau lagi. Bayangkan saja, aku sudah bertemu dengan beberapa orang gila seharian ini. Negeri  ini butuh pemimpin yang bisa memperbaiki kegilaan yang terjadi. Aku sekarang ingin menjadi presiden. Tapi itu nanti ketika pak Rektor Leo sudah mewisudaku.Â
"Man, kita tutup yok, sudah sore," ajak Pak Leo sambil menarik rolling door kampus kebanggaanku ini.
Ternyata tak terasa sudah berjam-jam aku melamun. Kalau tak dingatkan oleh Pak Leo mungkin aku takkan beranjak pulang.
"Apa yang disiapkan oleh Mak Mijah nanti di rumah ya?" gumamku dalam hati. Aku tiba-tiba teringat dengan wanita paroh baya itu. Rasa rindu mendalam kenapa tiba-tiba menusuk ragaku padahal baru meninggalkannya sehari saja.
Bagiku, Pak Leo dan Mak Mijah adalah malaikat yang sepertinya dikirimkan Tuhan untuk mempersiapkanku sebagai pemimpin di negeri ini.
Dalam perjalanan pulang, pak Leo titipkan pesan, "Man, kalau kau sudah kembali normal, bangunlah lapak yang lebih luas. Kalau usiaku pendek, kutitipkan lapak beserta buku-buku ini untukmu."
Aku paham akan pesan yang disampaikan pak Leo lebih mendalam. Pak Leo ingin menitipkan kampusnya jika beliau telah meninggal dunia. Beliau ingin aku menjadi rektor penggantinya selepas wisuda nanti. Dia ingin aku membangun kampus yang lebih luas untuk mahasiswa yang ingin belajar gratis.
"Aku tak ingin jadi rektor Pak Leo, aku ingin jadi presiden," tukasku dalam hati.
"Aku selalu punya ambisi yang tinggi."
"Tapi, mungkin maksud pak Leo adalah aku bisa jadi presiden dan sekaligus jadi rektor," pikirku lagi sambil tersenyum kecil.