Tak sedikit pun keduanya menggubris ucapan pak Leo. Malahan, mereka semakin asyik mengobrol.
"Iya, Gue dengar semester depan mau naik lagi nominal beasiswanya," tegas si perempuan.
"Katanya sih disesuaikan dengan kebutuhan hidup tiap daerah, beda-beda kan?" ungkapnya lagi.
Dengan lagaknya si lelaki mengegas motornya sambil berujar, "Bagus dong, buat nambah popok ama susu anak gue," tanggap si lelaki.Â
"Eh, bolos lagi yuk. Malas kuliah," kilah si perempuan yang dibalas anggukan .
Entahlah, apakah pak Leo  sedang membaca berita mengenai beasiswa atau sedang menguping juga pembicaraan mereka.
"Wah, zaman sekarang enak ya, beasiswa bertaburan. Susah bedakan mana yang pintar mana yang bukan," ucap pak Leo sambil tertawa kecil.
Merasa tersindir, perlahan muda-mudi itu beranjak pergi meninggalkan lapak buku yang merupakan kampusku yang baru. Lapak dimana aku berkuliah saat ini.
Suara kresek radio milik penjual gorengan pun berbunyi saat mencari siaran berita. Samar-samar kudengar ada anak-anak stunting yang hanya diberikan air putih bukan susu oleh ibunya.Â
Di berita yang lain, seorang ibu hamil harus ditandu ke puskesmas yang jauhnya 10 km dengan berjalan kaki karena tidak tersedia mobil ambulan di kampung itu. Malah ada satu keluarga yang bunuh diri karena himpitan ekonomi.
Aku kembali ke posisi awal duduk sambil mengingat kedua muda-mudi yang barusan mengobrol masalah beasiswa tadi. Dalam benakku, "Masihkah mereka punya hati untuk menerima beasiswa dari pemerintah namun tidak sesuai dengan penggunaannya.