Pola hidup kita, membentuk suatu kebiasaan yang bersifat rutin dan mau tidak mau kita menciptakan pagar penjara untuk diri sendiri. Banyak kenalan saya memilih pola seperti ini dan tidak percaya diri keluar dari lingkup dunianya sendiri.Â
Mereka bukan orang bodoh, dari segi ilmu mereka ekspert, tapi sayang mereka tak berani menunjukan diri didalam panggung realitas kehidupan yang lebih besar. Pola demikian menciptakan wawasan sempit dan kurang gaul yang akut. Tentu ada penulis yang bisa menulis saat mengasingkan diri. Itu beda. Disini mereka itu sudah terasing, tidak menulis lagi. Kok menulis, keluar kandang saja tidak. Apakah ada yang seperti ini?
Kebebasan menulis tidak akan pernah diperoleh oleh orang orang yang menutup diri. Mereka akan menjadi orang orang yang takut dikritik. Hidupnya penuh prasangka. Belum melakukan apapun, sudah memastikan diri pasti begini, pasti begitu. Boleh jadi mereka adalah penakut.Â
Perubahan dan peningkatan kapasitas diri agar lebih baik adalah sebuah tantangan penuh perjuangan. Dan Licentia Poetica akan jadi milik mereka yang berani mengeksplorasi diri. Bagi yang takut, kebebasan itu hanya utopia. Masak bahagia hanya saat tidur. Mimpi doang. Ini hidup nyata, bukan mimpi. Dan tak ada keajaiban, tanpa perjuangan.
Mau Nulis Apa?
Jangan takut, jangan surut. Tulis saja berbagai tema. Mau fiksi, mau esai, terserah. Licentia Pietica itu kemerdekaan diri sendiri bahwa menulis itu merdeka.Â
Tiap pribadi itu khas. Jadilah diri sendiri. Jika itu dijajah pihak lain, artinya kamu jadi orang lain. Tentu didunia ini ada aturan hukum dan sosial yang disepakati bersama dalam suatu negara. Sepanjang tulisanmu tidak melanggar hal tersebut, kenapa takut menulis?Â
Saya pribadi tidak malu menulis puisi. Justru puisi lebih sulit ditulis ditimbang jenis lainnya, dan saya merasa tidak malu. Tema apapun bisa ditulis dalam puisi. Itu arti kebebasan penulis. Dan menurut saya, silahkan saja mengeksplore kemampuan diri dalam menulis hingga ditemukan gaya kamu yang istimewa dan khas.
Bolehlah punya idola penulis lainnya. Saya sendiri penggemar Hilman Hari Wijaya, Penulis Lupus. Novelnya jadi koleksi saya. Saat saya menulis dengan gaya Hilman, ternyata tulisan saya kacau. Dunia lupus ada di ibukota dengan bahasa gaulnya. Mood bahasa tidak saya dapatkan, karena bahasa jakartaan tidak saya kuasai.
Kesimpulannya, menulis itu jadi diri sendiri. Sehebat apapun mencontoh penulis lain, kamu akan hanya jadi tukang copas. Style tulisanmu, punya orang lain. Jadi mau nulis apa? Tulis saja dengan berani jadi diri sendiri dan tidak perlu takut menuangkan apapun bentuk karyamu.
Catatan Kecil Sang pelupa.
Ide menulis itu ada di manapun. Langit bumi dan seisinya menyediakan materi kaya untuk diulas. Kamu harus punya cara untuk merekam apa yang kamu temukan segera setelah terlintas dalam otakmu.
Saya merekomendasikan catatan kecil sang pelupa. Ide yang lewat itu bisa jadi sekejap, lalu hilang. Sebuah ilmu dan pengalaman yang tidak didokumentasikan, akan hilang.Â