Meraih Licentia Poetica, Permata Idaman Para Penulis
Masih takut menulis? Belum menulis sudah was was? Ada pikiran, Jangan jangan begitu, jangan jangan begini. Akhirnya ragu ragu. Ide brilian tidak jadi ditulis.Â
Padahal ide yang menurut kamu biasa saja, Dimata orang lain itu luar biasa. Karena kurang percaya diri, Kadang sebelum tulisan tayang, minta dikoreksi oleh mentor yang dianggap mumpuni.Â
Sampai kapan begitu? Ilmu yang kita miliki adalah permata dan akan sangat berguna jika hal tersebut jadi inspirasi banyak orang. Dan akan lebih bermakna jika hal tersebut kamu tulis.Â
Sehebat apapun memori otak kita, jika tak ditulis sekarang, besok sudah lupa. Ingatnya jika tema tersebut ditulis orang lain, ternyata baru sadar. Lupa itu manusiawi.
Licentia Poetica, adalah bahasa latin yang bermakna kebebasan Pengarang dalam mengekpresikan kemampuan menulisnya.Â
Sudahkah kebebasan menulis kita miliki? Jika belum, permata berharga itu hanya utopia belaka. Nunggu sempurnakah? Sampai kapan? Siapa akan mengapresiasi maha karya kita jika tulisan masterpiece kita takut diperlihatkan dan hanya disimpan rapi dalam brankas di loteng. Berikut ulasan Â
Meraih Licentia Poetica, Permata Idaman Para Penulis, semoga menginspirasi.
Licentia Poetica itu Berani Eksplorasi diri
Penjara diri bagai Katak dalam tempurung adalah sikap kita yang mengurung diri dalam batas ketidakmampuan yang kita ciptakan sendiri.Â
Membatasi pergaulan, miskin teman baru, tak pernah tahu ada apa di kampung sebelah, bahkan siapa nama tetangga sebelah rumah saja tidak tahu, apalagi kenal.Â
Membaca buku dan mencari ilmu baru tak pernah dilakukan, sehingga otak kita isinya hanya rutinitas bangun tidur, makan dan tidur lagi. Berulang ulang dilakukan hingga hidup monoton tanpa tahu dunia luar.
Pola hidup kita, membentuk suatu kebiasaan yang bersifat rutin dan mau tidak mau kita menciptakan pagar penjara untuk diri sendiri. Banyak kenalan saya memilih pola seperti ini dan tidak percaya diri keluar dari lingkup dunianya sendiri.Â
Mereka bukan orang bodoh, dari segi ilmu mereka ekspert, tapi sayang mereka tak berani menunjukan diri didalam panggung realitas kehidupan yang lebih besar. Pola demikian menciptakan wawasan sempit dan kurang gaul yang akut. Tentu ada penulis yang bisa menulis saat mengasingkan diri. Itu beda. Disini mereka itu sudah terasing, tidak menulis lagi. Kok menulis, keluar kandang saja tidak. Apakah ada yang seperti ini?
Kebebasan menulis tidak akan pernah diperoleh oleh orang orang yang menutup diri. Mereka akan menjadi orang orang yang takut dikritik. Hidupnya penuh prasangka. Belum melakukan apapun, sudah memastikan diri pasti begini, pasti begitu. Boleh jadi mereka adalah penakut.Â
Perubahan dan peningkatan kapasitas diri agar lebih baik adalah sebuah tantangan penuh perjuangan. Dan Licentia Poetica akan jadi milik mereka yang berani mengeksplorasi diri. Bagi yang takut, kebebasan itu hanya utopia. Masak bahagia hanya saat tidur. Mimpi doang. Ini hidup nyata, bukan mimpi. Dan tak ada keajaiban, tanpa perjuangan.
Mau Nulis Apa?
Jangan takut, jangan surut. Tulis saja berbagai tema. Mau fiksi, mau esai, terserah. Licentia Pietica itu kemerdekaan diri sendiri bahwa menulis itu merdeka.Â
Tiap pribadi itu khas. Jadilah diri sendiri. Jika itu dijajah pihak lain, artinya kamu jadi orang lain. Tentu didunia ini ada aturan hukum dan sosial yang disepakati bersama dalam suatu negara. Sepanjang tulisanmu tidak melanggar hal tersebut, kenapa takut menulis?Â
Saya pribadi tidak malu menulis puisi. Justru puisi lebih sulit ditulis ditimbang jenis lainnya, dan saya merasa tidak malu. Tema apapun bisa ditulis dalam puisi. Itu arti kebebasan penulis. Dan menurut saya, silahkan saja mengeksplore kemampuan diri dalam menulis hingga ditemukan gaya kamu yang istimewa dan khas.
Bolehlah punya idola penulis lainnya. Saya sendiri penggemar Hilman Hari Wijaya, Penulis Lupus. Novelnya jadi koleksi saya. Saat saya menulis dengan gaya Hilman, ternyata tulisan saya kacau. Dunia lupus ada di ibukota dengan bahasa gaulnya. Mood bahasa tidak saya dapatkan, karena bahasa jakartaan tidak saya kuasai.
Kesimpulannya, menulis itu jadi diri sendiri. Sehebat apapun mencontoh penulis lain, kamu akan hanya jadi tukang copas. Style tulisanmu, punya orang lain. Jadi mau nulis apa? Tulis saja dengan berani jadi diri sendiri dan tidak perlu takut menuangkan apapun bentuk karyamu.
Catatan Kecil Sang pelupa.
Ide menulis itu ada di manapun. Langit bumi dan seisinya menyediakan materi kaya untuk diulas. Kamu harus punya cara untuk merekam apa yang kamu temukan segera setelah terlintas dalam otakmu.
Saya merekomendasikan catatan kecil sang pelupa. Ide yang lewat itu bisa jadi sekejap, lalu hilang. Sebuah ilmu dan pengalaman yang tidak didokumentasikan, akan hilang.Â
Manusia itu bisa lupa, bisa pikun. Jujur, peristiwa apa saja saat saya SMA, ternyata sudah sirna. Padahal kisah saya SMP masih bisa tersimpan dan didiskusikan dalam chat grub alumni. Kenapa demikian? Karena diwaktu SMP saya punya catatan kecil, sementara masa SMA sudah tidak.Â
Wal hasil saya tidak bisa nimbrung di grup chat SMA, karena selama tiga tahun tersebut saya lupa semuanya. Itulah arti penting menulis, sekalipun diary itu punya arti dan jadi bukti manusia memang bisa lupa dan pikun.
Sekarang, catatan saya bukan tulisan lagi, tapi saya simpan dalam wujud foto. Kemajuan android banyak membantu dokumentasi secara efektif dan kreatif. Belakangan, sebuah karya tulis saya diawali dari sebuah gambar. Saya membuat cover gambar untuk karya yang saya tulis.
Merdeka Menulis itu Licentia Poetica
Belajar, membaca dan berkarya adalah kunci. Buat apa tahu banyak hal, terus disimpan sendiri. Untuk apa coba? Sukses menulis adalah saat sebuah tulisan bisa menginspirasi banyak pihak. Seorang Tom Pires, penulis Suma Oriental adalah inspirasi bagi para sejarawan, karena berkat Tulisan Tom Pires, banyak fakta sejarah bisa digali paska Majapahit akhir.Â
Tom Pires sendiri malah tidak tahu kemanfaatan tulisannya dimasa dia masih hidup. Tulisan Tom Pires baru diketemukan ratusan Tahun sepeninggal beliau. Tulisan apapun pasti punya makna bagi peradaban manusia.
Takut menulis bukan alasan masuk akal karena yang tak masuk akal adalah mereka yang tak menulis. Menulis adalah rasa syukur atas segala nikmat. Untuk apa pintar, tapi disimpan sendiri. Dan menulis dalam tema apa adalah pilihan. Jadilah dirimu sendiri, dan kelak tunjukan pada anak cucu, link tulisanmu dimasa lalu. Jangan hanya cerita doang, tunjukan bukti jejak digitalnya. Jadilah dirimu sendiri, karena merdeka menulis itu Licentia Poetica
Malang, 26 September 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H