Seri Puisi Hari ini 5 : Luluh LantakÂ
Â
Mungkin sekarang, sudah sadar.
Sudah menyesal, sudah dilupakan.
Dianggap tak penting, anggap tak ada.
Itu dulu, sekarang tidak. Beres.
Mungkin sekarang, butuhmu aku. Diriku.
Dengan alasan alasan kekinian. Tapi dulu?
Iya dulu? Kau omong apa? Ingat. Ingatlah.
Dulu itu fix, mau duakan aku. Hapus cinta.
Hapus syariat. Demi Dia. Untuk Dia.
Â
Kau sudah obral murah kehormatanmu.
Gratis ditukar pilihan barumu itu.
Katanya dia lebih jago. Lebih hebat.
Ahli ibadah. Amalnya sundul langit.Â
Tapi sekarang kenapa kembali padaku?
Kau pikir aku baik baik saja. Bisa dikibuli.
Pikun. Anggap perbuatanmu itu mulia.
Dipuji malaikat langit bumi. Apa iya?
Buktinya kita sengsara. Jadi benarkah itu?
Kita Tamat. Luluh lantak. Berhadiah duka.
Diteruskan hanya pelihara tangis.
Pelihara drama palsu, tipu diri. Pura pura.
Haruskah hidup sekali jadi sandiwara.
Sekarang itu sudah luluh lantak. Hancur.
Mempertahankan apa, jika hasilnya siksa.
Yang waras jelas, tolak. Ini bukan jahat.
Karena ini adalah pintamu sendiri.
Doamu Yang dikabulkan.Â
Saat kau bahagia bersamanya.
Dulu enak bukan? Dan tertawa puas?
Sambil menghina aku? Iya bukan? Pasti!
Itu semua dicatat malaikat langit bumi.
Itu jijik. Cara binatang. Cara hewan.
Haruskah memaafkan hal terkutuk?
Kau permainkan kesucian Syariat Agama.
Tak bisa ditawar. Tak ada maaf.
Apa kau mau kembali setelah hina aku.
Remehkan imammu. Cara hewan laknat?
Lalu minta kembali. Apa maumu?
Luluh lantak. Tak ada jalan kembali.
Tak terima ulang yang sudah hina aku.
Cara hewan. Berani tanpa syariat.Â
Dan gugurlah semua. Gugur.
Dan ini terjadi karena perbuatanmu.
Yang enak lezat, surga duniamu.
Malang, 21 Juni 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI