Mohon tunggu...
Ira Pranoto
Ira Pranoto Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Menebar kebaikan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Rakyat | Teluk Awur 2

18 Mei 2021   12:52 Diperbarui: 18 Mei 2021   13:13 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Teluk Awur. (Dok. Pribadi)

Part 2. Akhir Kisah

Di ladang, Syekh Abdul Aziz sedang matun*. Rumput yang tumbuh liar di ladang atau di sawah kalau dibiarkan bisa merugikan tanaman. Dia akan merebut sari makanan yang dibutuhkan oleh tanaman. Lelaki santun itu tak menyadari kalau angin telah membawa pergi lukisan sang istri.

Saat akan minum, lelaki itu mencari gambar Rara Kuning, tapi yang dicari-cari tak nampak

"Perasaan gambar itu aku letakkan di sini. Kenapa nggak ada?" gumamnya.

Keinginan untuk memandang istrinya menyebabkan Syekh Abdul Aziz pulang. Kebiasaan lamanya pun terulang. Lelaki itu kembali ke rumah sebelum pekerjaan di ladang selesai.

Beberapa hari setelah hilangnya lukisan Rara Kuning, saat Syekh Abdul Aziz pulang dari ladang, tak dijumpainya sang istri di rumah. Sayuran yang belum selesai disiangi tergeletak di dapur. Kendil untuk menanak nasi masih nangkring di atas keren* yang sudah padam apinya, tapi nasi belum tanak benar.

Syekh Abdul Aziz keluar rumah, bertanya pada para tetangga. Mereka tidak mengetahui ke mana perginya Rara Kuning. Jarak rumah mereka berjauhan, lagi pula pada waktu itu, para tetangga juga sedang bekerja di ladang.

Tanpa putus asa Syekh Abdul Aziz mencari kekasih hatinya. Sampai akhirnya bertemu dengan lelaki yang tadi ditanya oleh patih tentang keberadaan lukisan Rara Kuning.

"Benar, prajurit kerajaan bertanya pada njenengan perihal istri saya?"

"Inggih, Syekh, saestu. Dalem mboten goroh." (Iya, Syekh, benar. Saya tidak bohong).

"Baiklah. Matur nuwun, Ki."

Dari keterangan yang diperoleh tersebut, Syekh Abdul Aziz menyimpulkan kalau istrinya pergi ke kerajaan. Tapi untuk apa? Mengapa Rara Kuning tidak menunggu kepulangannya dari ladang? Saat ingat dengan keadaan dapur yang tak semestinya, Syekh yang dikenal dermawan itu yakin kalau sang istri pergi dengan cara dipaksa.

"Aku harus menyusul Rara Kuning. Masuk istana dan membawanya kembali ke rumah," gumamnya.

Bagaimana cara agar bisa masuk istana tanpa dicurigai? Sudah pasti banyak prajurit yang menjaga istana. Dia sendirian, walau memiliki kemampuan bela diri, mustahil bisa melawan sekian banyak prajurit.

Syekh Abdul Aziz memutuskan untuk menyamar sebagai pengamen. Dengan membawa kentrung* dia berangkat menuju istana raja untuk menjumpai dan membawa pulang sang istri.

Sementara itu, di kaputren, Rara Kuning selalu sedih. Kebaikan dayang istana yang selalu melayani kebutuhannya tidak menjadikan dia gembira. Dayang yang selalu menghibur pun, tak dapat menghilangkan kesedihan hatinya. Keinginannya hanya satu, bertemu dengan suaminya dan kembali pulang.

***

Hari itu Raja Jaka Wangsa mengunjungi kaputren.

"Piye, wong ayu, seliramu purun apa ora dadi prameswariku?" (Gimana cantik, kamu mau atau tidak jadi permaisuriku?).

"Bukankah sudah saya katakan berkali-kali, kalau saya tidak bersedia menjadi istri Paduka."

"Banyak putri yang ingin jadi permaisuriku. Mengapa kamu menolak tawaranku?"

"Bukankah Paduka sudah mengetahui kalau saya sudah bersuami?"

"Itu bukan masalah besar, bagi seorang raja semua bisa diatur."

"Itu namanya sewenang-wenang, Paduka."

"Saya raja di sini, sedang suamimu hanyalah rakyat biasa. Bisa apa dia dengan kekuasaan yang kugenggam?"

"Paduka benar-benar tak berhati nurani."

"Sudah, tak perlu lagi berdebat. Beberapa hari ke depan, saya akan berkunjung di kerajaan tetangga. Saat saya kembali, kamu harus bersedia menjadi permaisuri."

Tanpa menunggu jawaban Rara Kuning, Raja Jaka Wangsa meninggalkan kaputren. Makin tak karuan suasana hati Rara Kuning. Hanya tangisan yang bisa dia lakukan untuk menumpahkan rasa hatinya.

"Lir ilir, lir ilir. Tandure wes sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon, cah angon. Penekna blimbing kuwi. Lunyu, lunyu penekna kanggo mbasuh dadatira. Dadatira, dadatira, kumitir bedhah ing pinggir. Dandamana jlumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Yo, surak aaa, surak hore."

Lamat-lamat, Rara Kuning mendengar suara seseorang nembang (melantunkan lagu Jawa) diiringi tabuhan kentrung. Suara itu tak asing di telinga Rara Kuning. Untuk memastikannya, perempuan yang lembut dan tegas itu mengutus salah satu pengawal untuk memanggil orang yang nembang tersebut.

"Den Ayu, menika piyantun ingkang nembang wau. Ngendikanipun piyambake nembe mbarang." (Den Ayu, ini orang yang nembang tadi. Katanya dia sedang mengamen).

Suka cita rasa hati Rara Kuning saat mengetahui siapa yang mengamen. Telinga dan socanya tak dapat ditipu. Sekian tahun hidup bersisian telah menjadikan segala yang melekat pada diri Syekh Abdul Aziz telah dikenalnya.
Bukan Rara Kuning kalau tak bisa menguasai keadaan. Walau hatinya bersorak, tapi rasa itu bisa dia simpan.

"Pengawal, silakan berjaga di luar gerbang kaputren. Saya ingin mendengarkan tembang yang lainnya. Berdua saja dengan pengamen ini."

" Sendika, Den Ayu."

"Nyuwun sewu, Mbok, tolong siapkan makanan dan minuman untuk Kisanak ini. Dia tentu nanti haus setelah kuminta nembang lagi." Pandangan Rara Kuning terarah pada dayang yang menemaninya.

"Inggih, Den Ayu. Sendika dawuh."

Sepeninggal pengawal dan dayang istana, Syekh Abdul Aziz kembali melantunkan tembang Lir Ilir. Tembang ciptaan Sunan Kalijaga yang mengandung makna sangat dalam. Mengajak manusia untuk menyadari akan keberadaan Allah, Tuhan Yang Esa. Mengajak untuk menjadi pribadi yang baik, menyempurnakan Rukun Islam dan istiqomah menjalankan perintah Allah. Juga mengajak umat Islam agar selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang makin bertakwa.

Pandangan mata dua insan tersebut bertemu, gelegak rindu terpancar dari dua pasang soca itu. Ah, ingin rasa hati segera memeluk kekasih yang nyata ada di pandangan, tapi sepasang kekasih itu mampu mengendalikan diri. Hanya tembang Lir Ilir yang menjadi penyambung gejolak rindu mereka. Tembang yang sering terlantun dari lati mereka saat melepas penat.

Di sela lantunan tembang, Rara Kuning menceritakan nasib yang dialaminya. Meminta sang suami untuk membawanya kembali ke kediaman mereka.

"Diajeng, saya harus mencari ide agar kita bisa selamat dari kesewenangan raja. Izinkan saya undur diri dahulu, besok saya ke sini lagi menyampaikan apa yang mesti kita perbuat."

"Baiklah, Kangmas. Saya menanti kedatangan panjenengan."

***

Raja Jaka Wangsa sudah kembali dari kunjungan ke negeri tetangga. Lelaki berbadan tegap dengan cambang halus itu menuju ke kaputren.

"Bagaimana, Wong Ayu? Seliramu  saguh to dadi prameswariku?"

"Saya bersedia menjadi permaisuri njenengan, Paduka."

"Itu sudah seharusnya, Wong Ayu." Raja Jaka Wangsa tertawa puasa.

"Tapi, Paduka harus memenuhi syarat yang saya ajukan."

"Ayo katakan saja syaratnya!"

"Paduka harus mencari kijing* yang menari. Paduka harus mencari sendiri kijing menari itu. Saat mencari kijing Paduka harus berpakaian seperti nelayan dengan membawa kepis* yang diselempangkan di pundak. Tak boleh ada seorang pun yang tahu penyamaran Paduka."

"Oke, besok saya akan melaksanakan persyaratan yang kau ajukan. Tunggu aku, Wong Ayu. Sebentar lagi engkau akan hidup bahagia dengan saya."

"Inggih Paduka." Rara Kuning tersenyum penuh arti.

Hari berikutnya, Raja Jaka Wangsa benar-benar melaksanakan persyaratan yang diajukan pujaan hatinya. Dengan senyum kemenangan dia berangkat tengah malam dengan diam-diam. Keinginannya yang menggebu untuk memperistri Rara Kuning benar-benar telah menguasai akal sehatnya. Tanpa curiga sedikit pun sang raja keluar istana dengan hati berbunga karena keinginannya memperistri Rara Kuning hanya tinggal satu langkah.

Sementara itu di istana, tampak sesosok laki-laki masuki tempat peristirahatan Raja Jaka Wangsa. Lelaki itu menghabiskan malam di tilam empuk sang raja tanpa diketahui para prajurit yang berjaga di istana. Malam itu, Rara Kuning dan Syekh Abdul Aziz sudah memulai aksinya untuk memperdaya sang raja.

Keesokan harinya, di singgasana duduk dengan gagah Raja Jaka Wangsa yang mengenakan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa dikenakan saat akan menyampaikan kejadian penting.

"Patih, kemarin saat kunjungan ke negeri tetangga ada kabar buruk yang disampaikan. Kerajaan yang berseberangan pendapat dengan sekutu kita, mulai menyebar mata-mata."

"Dawuh, Paduka."

"Perintahkan senopati dan prajurit pilihan untuk menyusuri pantai. Di sana ada mata-mata yang menyamar menjadi nelayan dengan kepis di pundak. Ajak serta penduduk untuk membantu menangkap musuh kerajaan."

"Dari mana Paduka mengetahui kalau di pantai ada mata-mata?"

"Kamu tak perlu tahu dari mana kabar itu saya peroleh. Cukup kau laksanakan tugas saja."

"Sendika dawuh, Paduka."

***

"Itu mata-mata yang dimaksud paduka raja." Salah seorang prajurit menunjuk pada sosok yang terlihat di kejauhan.

"Ya, pasti orang itu yang dimaksud paduka raja."

"Benar, dia sendirian, membawa kepis juga."

"Ayo, kita tangkap!"

Rombongan senopati dan prajurit pilihan beserta beberapa penduduk itu mendekati Raja Jaka Wangsa. Salah seorang memegang kedua tangan raja yang menyamar itu.

"Hei, kamu mata-mata dari kerajaan seberang, kan?"

"Apa yang kamu perbuat di wilayah kerajaan kami?"

"Hei, dengar saya bukan mata-mata, saya Jaka Wangsa, raja kalian." Raja Jaka Wangsa berusaha menjelaskan jati dirinya.

"Halah, ngaku-ngaku raja lagi."

"Kamu tak usah mengelak."

"Benar saya ini raja kalian."

"Kamu bohong, Raja Jaka Wangsa ada di istana, beliau yang memerintah kami untuk menangkapmu."

Entah siapa yang memulai lebih dahulu. Raja yang malang itu dikeroyok oleh prajurit dan rakyatnya sendiri. Mereka menyerang Jaka Wangsa dengan membabi buta dan tanpa ampun.

"Teluk, teluk." Teriakan yang keluar dari mulut Raja Jaka Wangsa tak mereka pedulikan. (Takluk, takluk).

Mereka terus saja memukul dan menendang sang raja hingga tak berdaya. Melihat mata-mata yang menyamar itu sudah tak berdaya, pukulan mulai berkurang.

"Dengar, ya, kalian semua. Saya ini bukan mata-mata, tapi saya adalah Raja Jaka Wangsa, raja kalian. Saya sudah berkali-kali teriak teluk, tapi kalian tetap saja ngawur."*

Kalimat terakhir Jaka Wangsa menyebabkan para pengeroyok kembali memukulinya. Karena luka yang sangat parah, raja yang malang itu akhirnya meninggal dunia.

Seiring berjalannya waktu, pantai tempat meninggalnya Raja Jaka Wangsa dinamai Teluk Awur yang diambil dari kata 'teluk' dan 'ngawur'.

***

Jepara, 17 Mei 2021
Ditulis oleh Ira Pranoto.

Keterangan :
* Matun : mencabuti rumput yang tumbuh liar di ladang atau sawah.
* Keren : beberapa batu besar atau batu bata atau genteng yang disusun dan ditata sedemikian, digunakan untuk memasak dengan bahan bakar kayu atau dedaunan kering.
* Kentrung : alat musik seperti gitar yang berukuran kecil.
* Kijing : jenis kerang yang berukuran lebih kecil dan bercangkang agak pipih.
* Kepis : tempat untuk menyimpan ikan yang terbuat dari anyaman bambu.
* Ngawur : gegabah.
* Teluk Awur : salah satu pantai di Kabupaten Jepara, terletak di Desa Telukawur, Kecamatan Tahunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun