"Pengawal, silakan berjaga di luar gerbang kaputren. Saya ingin mendengarkan tembang yang lainnya. Berdua saja dengan pengamen ini."
" Sendika, Den Ayu."
"Nyuwun sewu, Mbok, tolong siapkan makanan dan minuman untuk Kisanak ini. Dia tentu nanti haus setelah kuminta nembang lagi." Pandangan Rara Kuning terarah pada dayang yang menemaninya.
"Inggih, Den Ayu. Sendika dawuh."
Sepeninggal pengawal dan dayang istana, Syekh Abdul Aziz kembali melantunkan tembang Lir Ilir. Tembang ciptaan Sunan Kalijaga yang mengandung makna sangat dalam. Mengajak manusia untuk menyadari akan keberadaan Allah, Tuhan Yang Esa. Mengajak untuk menjadi pribadi yang baik, menyempurnakan Rukun Islam dan istiqomah menjalankan perintah Allah. Juga mengajak umat Islam agar selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang makin bertakwa.
Pandangan mata dua insan tersebut bertemu, gelegak rindu terpancar dari dua pasang soca itu. Ah, ingin rasa hati segera memeluk kekasih yang nyata ada di pandangan, tapi sepasang kekasih itu mampu mengendalikan diri. Hanya tembang Lir Ilir yang menjadi penyambung gejolak rindu mereka. Tembang yang sering terlantun dari lati mereka saat melepas penat.
Di sela lantunan tembang, Rara Kuning menceritakan nasib yang dialaminya. Meminta sang suami untuk membawanya kembali ke kediaman mereka.
"Diajeng, saya harus mencari ide agar kita bisa selamat dari kesewenangan raja. Izinkan saya undur diri dahulu, besok saya ke sini lagi menyampaikan apa yang mesti kita perbuat."
"Baiklah, Kangmas. Saya menanti kedatangan panjenengan."
***
Raja Jaka Wangsa sudah kembali dari kunjungan ke negeri tetangga. Lelaki berbadan tegap dengan cambang halus itu menuju ke kaputren.