Mohon tunggu...
Ira Pranoto
Ira Pranoto Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Menebar kebaikan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tak Terduga

24 April 2020   06:30 Diperbarui: 24 April 2020   06:51 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan jelang lima puluh tahun itu termangu di bangku teras rumah. Dengan wajah sedih, tangan bertopang dagu pikirannya melayang ke mana-mana.

Namanya Darmi, lima tahun sudah ditinggal sang suami kembali pada Robbnya. Dengan tiga orang anak yang belum dewasa, sungguh ujian hidup yang terasa berat.

Beruntung tempat tinggalnya tak jauh dari sekolah dasar. Dengan mengajak si bungsu yang saat itu berumur tiga tahun, dia berjualan jajanan dan mainan di sekolah tersebut. Sementara di sore hari, perempuan yang rambutnya sudah memutih itu berjualan di madrasah diniyah.

Yang Maha Kuasa memang sayang pada semua makhluk-Nya. Saat Dia memberikan ujian, selalu ujian itu diikuti dengan balasan yang sesuai. Setiap Dia memberikan kesulitan pada seorang hamba, maka akan diberi jalan keluar. Bahkan ketika Dia memberikan kesedihan pada seseorang, maka saat itu dibarengi dengan suatu peristiwa yang menyejukkan.

Begitu juga yang dialami Darmi, anak sulungnya yang saat itu berumur sebelas tahun, tidak malu membantunya berjualan. Tiap istirahat, Iqbal membantu ibunya melayani anak-anak sekolah yang berebutan membeli. Begitu juga saat berjualan di madrasah.

Uang yang didapat dari berjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan Darmi bisa menyisihkan sedikit untuk ditabung. Uang yang ditabung digunakan untuk memenuhi keperluan hidup di saat sekolah libur.

"Mak, besok katanya puasa ya?" Dinda anak bungsunya muncul, memutus lamunan.

"Iya. Kenapa?"

"Kok Emak tidak beli gula sama teh?"

"Memang kalau puasa harus beli gula sama teh?"

"Biasanya Emak kan beli."

"Nanti belinya, Nduk."

"Mak, nanti kalau beli gula, Dinda belikan susu ya?"

"Kalau uang emak cukup, nanti emak belikan."

"Dinda kan besok mau puasa juga, Mak."

"Kalau uang emak kurang, nggak usah beli ya, Nduk?"

Dinda diam, tak menanggapi ucapan Darmi. Namun, raut wajahnya terlihat kecewa.

"Nanti kalau ada rejeki, emak belikan susu. Ya?" Dielusnya rambut Dinda.

"Bener, Mak?"

"He'em."

"Terima kasih, Mak."

"Iya. Ayo, masuk rumah! Emak mau ke warung."

Di kamar, Darmi membuka kaleng bekas biskuit tempat dia mengumpulkan uang. Dihitungnya jumlah uang yang ada di sana. Seharusnya uang itu cukup untuk membeli kebutuhan puasa yang lebih banyak dari hari biasa. 

Dia dan anak-anaknya, yang di hari biasa tak pernah menikmati teh manis. Yang di hari biasa tak pernah membeli makanan untuk cemilan. Di saat bulan puasa, perempuan yang bertubuh sedang itu, akan menyediakan teh manis untuk berbuka puasa. Tak ada kolak atau es kelapa muda, apalagi kurma. Kadang dia membuat bakwan atau mendoan, sekalian untuk lauk.

Puasa tahun ini, memang lain dari puasa sebelumnya. Darmi mendengar dari pembicaraan orang-orang saat belanja, juga dari penuturan Iqbal. Saat ini sedang pagebluk. Ada penyakit baru yang cepat menular. Agar penyakit itu tidak menyebar, maka orang-orang disuruh untuk tinggal di rumah.

Mulanya Darmi bertanya-tanya,mengapa anak-anak sekolah pada libur? Padahal biasanya libur di bulan Juni dan Desember. Ternyata karena ada virus korona.

Dengan liburnya anak-anak sekolah, otomatis Darmi tak bisa berjualan. Uang simpanan yang biasa digunakan untuk keperluan hidup selama masa sekolah libur jadi berkurang.

Kalau dihitung-hitung, uang yang dia punya tak cukup untuk sebulan ke depan. Kecuali kalau tiap hari hanya makan lauk tempe saja tanpa sayur atau sayur saja tanpa lauk dengan air putih sebagai penghilang dahaga saat berbuka.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari arah pintu depan.

"Wa'alaikumus salam." Darmi berjalan menuju ruang depan.

Di ambang pintu yang terbuka, berdiri Mbak Nita, salah satu tetangganya. Kedua tangan membawa kresek putih.

"Monggo masuk, Mbak Nita."

"Nggih, Bu." Mbak Nita masuk, meletakkan dua kresek yang dibawanya itu di meja.

"Ada perlu apa, Mbak Nita?"

"Ini Bu. Ada sedikit rejeki titipan dari Mas Akmal."

"Ya Allah Gusti, Mbak Nita kok repot-repot sih."

"Bukan saya, Bu. Ini dari Mas Akmal. Buat wedangan nanti pas puasa."

"Terima kasih, Mbak Nita. Mugi Gusti Allah paring piwalesan ingkang kathah kagem njenengan sak kaluwarga."*

"Nggih, Bu. Saya langsung pamit, nggih. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumus salaam."

Bu Darmi membawa dua kresek itu ke dapur. Isinya beras, sedang kresek yang satu berisi gula,telur, minyak, teh dan susu kental manis.

Ma sya Allah. Alhamdulillah. Tak habis-habis Bu Darmi mengucap syukur pada Gusti Allah yang telah mengirim rejeki lewat Mbak Nita dan suaminya.

Ternyata di masa pagebluk ini, masih ada orang yang dermawan. Membagikan apa yang mereka punya untuk meringankan orang lain.

Tak terasa air mata menetes di pipi Bu Darmi. Bersyukur, dia dan anak-anaknya besok bisa berbuka dengan teh manis. Keinginan Dinda untuk minum susu pun terkabul.

***

Note :

* Semoga Allah memberikan balasan yang banyak untuk anda dan keluarga.

Jepara, 24.04.2020

Ditulis oleh Ira Pranoto.

Kisah nyata dengan bumbu cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun