Di kamar, Darmi membuka kaleng bekas biskuit tempat dia mengumpulkan uang. Dihitungnya jumlah uang yang ada di sana. Seharusnya uang itu cukup untuk membeli kebutuhan puasa yang lebih banyak dari hari biasa.Â
Dia dan anak-anaknya, yang di hari biasa tak pernah menikmati teh manis. Yang di hari biasa tak pernah membeli makanan untuk cemilan. Di saat bulan puasa, perempuan yang bertubuh sedang itu, akan menyediakan teh manis untuk berbuka puasa. Tak ada kolak atau es kelapa muda, apalagi kurma. Kadang dia membuat bakwan atau mendoan, sekalian untuk lauk.
Puasa tahun ini, memang lain dari puasa sebelumnya. Darmi mendengar dari pembicaraan orang-orang saat belanja, juga dari penuturan Iqbal. Saat ini sedang pagebluk. Ada penyakit baru yang cepat menular. Agar penyakit itu tidak menyebar, maka orang-orang disuruh untuk tinggal di rumah.
Mulanya Darmi bertanya-tanya,mengapa anak-anak sekolah pada libur? Padahal biasanya libur di bulan Juni dan Desember. Ternyata karena ada virus korona.
Dengan liburnya anak-anak sekolah, otomatis Darmi tak bisa berjualan. Uang simpanan yang biasa digunakan untuk keperluan hidup selama masa sekolah libur jadi berkurang.
Kalau dihitung-hitung, uang yang dia punya tak cukup untuk sebulan ke depan. Kecuali kalau tiap hari hanya makan lauk tempe saja tanpa sayur atau sayur saja tanpa lauk dengan air putih sebagai penghilang dahaga saat berbuka.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari arah pintu depan.
"Wa'alaikumus salam." Darmi berjalan menuju ruang depan.
Di ambang pintu yang terbuka, berdiri Mbak Nita, salah satu tetangganya. Kedua tangan membawa kresek putih.
"Monggo masuk, Mbak Nita."
"Nggih, Bu." Mbak Nita masuk, meletakkan dua kresek yang dibawanya itu di meja.