Mohon tunggu...
Nina BSA
Nina BSA Mohon Tunggu... Akuntan - Equal Means Equal

ali_nadirah@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu dari Palu

31 Agustus 2017   00:02 Diperbarui: 31 Agustus 2017   00:05 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar ucapan ameh, Fikri yang tadinya enggan untuk makan jadi bersemangat makan. Fikri berlari ke meja makan dan langsung memakan apa yang sudah tersaji: nasi dan uta kelo atau saur daun kelor.

"Makan Fikri. Sadiki lagi so mo lebaran, jangan kurus-kurus ngana." kata ameh.

"Nanti gimbot Fikri ameh betulkan? Sekarang meh?." tanya Fikri.

Ameh tersenyum hangat, tangannya mengelus-elus rambut hitam Fikri, "Iya nanti lebaran 'kan abimu pulang. Nanti ameh bilang ke kamu punya abi buat betulkan gimbotmu." jawab ameh.

"Nanti ameh yang minta betulkan?." tanya Fikri.

Ameh bukannya menjawab pertanyaan Fikri, malah memalingkan wajah menghadap tembok yang tertempel kalender bergambar Pondok Pesantren Alkhairaat disana. Ameh berdiri dan meraba-raba kalender, seperti sedang menghitung hari demi hari. "Tanggal 13 Juli sadiki lagi." kata ameh.

Wajah Fikri yang tadinya gembira, kini berubah lesuh ketika mendengar ucapan ameh lalu kembali makan. Fikri memang ingin gimbotnya dibetulkan sekarang juga, tapi yang membuatnya lesuh adalah akan menghadap abinya. Ia akan berbicara pada abinya. Dalam hatinya, ingin ia katakan kalau lebih baik rusak saja mainannya dari pada harus berbicara pada abinya. Fikri terlalu malu dan kaku. Begitupun dengan abinya. Mereka memang tidak dekat sebagai ayah dan anak. Wajar saja, sejak tinggal bersama habib, hababa, ameh dan aminya, Fikri seakan jauh dari abinya yang tinggal di Jakarta. Fikri dibesarkan oleh amehnya. Amehlah orang yang selalu menyiapkan makan, baju sekolah, dan mengajak jalan-jalan. Ketika anak-anak yang lain diantar-jemput orangtua, Fikri justru harus berjalan kaki sendirian menuju dan pulang sekolah. Ketika anak-anak yang lain diambilkan rapot oleh orangtua, Fikri diambilkan oleh amehnya. Ketika anak-anak yang lain hidup berkeluaga lengkap, Fikri justru harus terima dengan keadaannya: ia tak tinggal bersama abinya dan bahkan ibunya. Fikri tidak tau rasanya memiliki keluaga yang harmonis. Jangankan untuk hidup bersama ibunya, wajahnya seperti apa Fikri pun tak tau. Ia hanya punya sebuah foto yang sedikit tersobek di bangian kanan atas foto tersebut. Foto itu berlukiskan dirinya yang kira-kira berusia satu tahun dan di samping kirinya duduk seorang gadis kecil yang kira-kira lebih tua dua tahun darinya. Hanya itu. Hanya selembar foto yang entah dimana dan dengan siapa Fikri berfoto, ia tak tahu. Fikri yang memang terlalu takut menanyakannnya pada abi tentang siapa ibu kandungnya. Fikri juga nampaknya tidak begitu penasaran karena memang ia tidak tahu bagaimana rasanya punya ibu.

Hari demi hari bergulir, tak terasa besok sudah hari lebaran. Rasanya sudah tidak sabar Fikri menyambut hari raya Idul Fitri. Karena selain akan mendapatkan hagala (uang lebaran), ia juga berharap gimbotnya akan segera diperbaiki.

"Eh Fikri, kau dapat hagala berapa?." tanya Syafiq.

"Ih baru saja dapat dua puluh ribu, kau berapa Syafiq.?" tanya kembali Fikri.

"Aku punya sudah lima puluh ribu. Hahaha." jawab Syafiq sambil tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun