Mohon tunggu...
Nina BSA
Nina BSA Mohon Tunggu... Akuntan - Equal Means Equal

ali_nadirah@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu dari Palu

31 Agustus 2017   00:02 Diperbarui: 31 Agustus 2017   00:05 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sore itu, seperti sore biasanya, Fikri dan Syafiq bermain sepatu roda di dalam rumah, tepatnya di depan ruang tv. Sang kakek, atau yang sering mereka panggil 'habib' sudah lelah memarahi Fikri untuk hal yang satu ini. Ya, akhir-akhir ini Fikri memang sedang gemar-gemarnya bermain sepatu roda bersama Syafiq, karena gimbotnya rusak. Maklum, gimbot milik Fikri memang sudah 'tua'. Ketika Fikri sedang bermain sepatu roda mengitari ruang tv dan meja makan, tiba-tiba tante atau yang sering mereka sebut ameh Fatma datang. Tidak tanggung-tanggung, ameh datang dengan membawa sapu lidi, seakan-akan siap memukul Fikri karena kelakuannya: bermain sepatu roda di dalam rumah.

"Ampun ameh. Fikri tidak ulangi lagi." kata Fikri dengan bahasa ibunya: Palu.

"Ngana (kamu) ini, so ameh bilang jangan barmain sapatu roda dalam rumah, kalo mau main di luar sana!." perintah ameh pada Fikri dan Syafiq yang tak lama kemudian mereka lebih memilih untuk melepas sepatu roda mereka masing-masing, meletakannya di rak sepatu, setelah itu menggelar karpet di depan tv untuk menonton kartun favorit mereka: upin dan ipin.

Fikri dan Syafiq adalah teman dekat dan masih keluarga. Hampir setiap hari selama bulan puasa mereka bermain sepatu roda, entah di dalam maupun di luar rumah. Syafiq bukan orang asli Palu, dia berasal dari Ternate, tapi setiap bulan puasa ibunya dan Syafiq pasti pulang ke Palu. Sedangkan Fikri, dia lahir di Jakarta, tapi ketika usia dua tahun dibawa abinya (ayah) ke Palu, tempat tinggal habib, hababa, ameh, dan ami dalam satu rumah. Ya, Fikri memang tinggal bersama mereka, bukan dengan orangtuanya. Dahulu ketika ia baru dilahirkan sampai usia dua tahun, Fikri sempat tinggal di daerah Condet bersama abi dan ibunya. Namun setelah perceraian kedua orangtuanya, ia dibawa ke kediaman habib dan hababanya di Palu. Disana ia dibesarkan oleh amehnya, dari ia kecil sampai sekarang menginjak usia 11 tahun.

"Eh Fikri, nanti malam mau ke Pantai Tanjung Karang kau? Sama umi saya deng ka Hidayah?." tanya Syafiq.

"Kamu nanti samua pigi (pergi)?." tanya kembali Fikri.

Tak lama kemudian, ameh datang lagi dari dapur dan berkata, "Ee.. nggak ada Fikri pigi-pigi ke pantai nanti malam ya. Tidur ngana, besok sekolah!." perintah ameh lagi.

Fikri pun menundukkan kepalanya, sedangkan Syafiq langsung 'kabur' ke rumahnya, yang tepat di samping kanan kediaman habibnya Fikri.

Fikri bangun dari duduknya dan hendak ke kamar. Namun ameh yang baru saja dari dapur berkata, "Fikri kalo mau makan, samuanya so ameh taro di meja. Makan." perintah ameh yang sudah ketiga kalinya.

"Iya iya, nanti saya makan." jawab Fikri agak lesuh.

"Fikri.. makan sayang, nanti ameh bantu benarkan mainanmu." kata ameh.

Mendengar ucapan ameh, Fikri yang tadinya enggan untuk makan jadi bersemangat makan. Fikri berlari ke meja makan dan langsung memakan apa yang sudah tersaji: nasi dan uta kelo atau saur daun kelor.

"Makan Fikri. Sadiki lagi so mo lebaran, jangan kurus-kurus ngana." kata ameh.

"Nanti gimbot Fikri ameh betulkan? Sekarang meh?." tanya Fikri.

Ameh tersenyum hangat, tangannya mengelus-elus rambut hitam Fikri, "Iya nanti lebaran 'kan abimu pulang. Nanti ameh bilang ke kamu punya abi buat betulkan gimbotmu." jawab ameh.

"Nanti ameh yang minta betulkan?." tanya Fikri.

Ameh bukannya menjawab pertanyaan Fikri, malah memalingkan wajah menghadap tembok yang tertempel kalender bergambar Pondok Pesantren Alkhairaat disana. Ameh berdiri dan meraba-raba kalender, seperti sedang menghitung hari demi hari. "Tanggal 13 Juli sadiki lagi." kata ameh.

Wajah Fikri yang tadinya gembira, kini berubah lesuh ketika mendengar ucapan ameh lalu kembali makan. Fikri memang ingin gimbotnya dibetulkan sekarang juga, tapi yang membuatnya lesuh adalah akan menghadap abinya. Ia akan berbicara pada abinya. Dalam hatinya, ingin ia katakan kalau lebih baik rusak saja mainannya dari pada harus berbicara pada abinya. Fikri terlalu malu dan kaku. Begitupun dengan abinya. Mereka memang tidak dekat sebagai ayah dan anak. Wajar saja, sejak tinggal bersama habib, hababa, ameh dan aminya, Fikri seakan jauh dari abinya yang tinggal di Jakarta. Fikri dibesarkan oleh amehnya. Amehlah orang yang selalu menyiapkan makan, baju sekolah, dan mengajak jalan-jalan. Ketika anak-anak yang lain diantar-jemput orangtua, Fikri justru harus berjalan kaki sendirian menuju dan pulang sekolah. Ketika anak-anak yang lain diambilkan rapot oleh orangtua, Fikri diambilkan oleh amehnya. Ketika anak-anak yang lain hidup berkeluaga lengkap, Fikri justru harus terima dengan keadaannya: ia tak tinggal bersama abinya dan bahkan ibunya. Fikri tidak tau rasanya memiliki keluaga yang harmonis. Jangankan untuk hidup bersama ibunya, wajahnya seperti apa Fikri pun tak tau. Ia hanya punya sebuah foto yang sedikit tersobek di bangian kanan atas foto tersebut. Foto itu berlukiskan dirinya yang kira-kira berusia satu tahun dan di samping kirinya duduk seorang gadis kecil yang kira-kira lebih tua dua tahun darinya. Hanya itu. Hanya selembar foto yang entah dimana dan dengan siapa Fikri berfoto, ia tak tahu. Fikri yang memang terlalu takut menanyakannnya pada abi tentang siapa ibu kandungnya. Fikri juga nampaknya tidak begitu penasaran karena memang ia tidak tahu bagaimana rasanya punya ibu.

Hari demi hari bergulir, tak terasa besok sudah hari lebaran. Rasanya sudah tidak sabar Fikri menyambut hari raya Idul Fitri. Karena selain akan mendapatkan hagala (uang lebaran), ia juga berharap gimbotnya akan segera diperbaiki.

"Eh Fikri, kau dapat hagala berapa?." tanya Syafiq.

"Ih baru saja dapat dua puluh ribu, kau berapa Syafiq.?" tanya kembali Fikri.

"Aku punya sudah lima puluh ribu. Hahaha." jawab Syafiq sambil tertawa.

"Eh Syafiq, kemarin malam saya, ameh deng ami pigi ke Pantai Talise, pe asik jo." kata Fikri.

"Ada buat apa ngana pigi malam lebaran ke pantai?." tanya Syafiq.

"Iyo, kita makan kaledo lalu kita pigi dari sore sampai malam di Talise." jawab Fikri.

"Pe asik jo ngana, lalu hari ini ada mau kemana?." tanya lagi Syafiq.

"Tidak. Saya mau tunggu abi dari Jakarta. Mau betulkan saya punya gimbot." jawab Fikri.

Setelah itu Fikri duduk di sofa yang berada di teras rumah. Sedangkan Syafiq masuk ke dalam rumahnya.

"Fikri.. ameh lihat bajumu belum kau rapihkan, masih di lemari. Ameh kira ngana so masukan samua ke koper." kata ameh.

"Nanti saja. Saya ada tunggu abi. Mau main gimbot." katanya sambil tersenyum.

"Kalo abimu so datang, kasih tau ameh di dapur." kata ameh dan dibalas anggukan oleh Fikri.

Fikri yang awalnya semangat menyambut ayahnya, namun kini sudah berjam-jam menunggu, sang abi masih tak kunjung datang. Fikri merasa agak bosan, tamu di rumahnya terus berdatangan, tapi Fikri tetap setia di teras rumah menjadi penyambut pertaman abinya pulang kampung. Namun nampaknya memang bukan hari ini. Sampai malam pun sang abi belum datang.

Sekitar pukul 20.00 WITA, ameh mendapat telepon dari kakanya yang juga abi dari Fikri. Kata abinya Fikri, ia belum bisa datang, mungkin baru besok akan datang. Ameh memberi tahu Fikri dan untungnya Fikri mau mengerti.

Keesokan hari sekitar pukul 15.00 WITA, ameh kembali mendapat telepon dari kakaknya, katanya masih tidak bisa juga pulang pada hari ini, mungkin lusa baru bisa pulang. Fikri pun diberitahu kembali oleh ameh, kali ini Fikri mulai resah. Setiap malam Fikri memandangi gimbotnya, setiap hari memandangi foto abinya. Sedangkan ameh, setiap hari mencoret satu demi satu tanggal di kalender.

Dua hari kemudian ketika Fikri sedang membereskan bajunya dari lemari, ameh membertitahukan bahwa abinya baru kemungkinan bisa pulang dalam seminggu ini. Sekarang Fikri sudah tidak berharap banyak lagi. Jika memang abinya tidak pulang ke Palu seperti setahun yang lalu, Fikri tidak mengapa. Ini sudah biasa, hanya bertemu setahun sekali dan tak lebih dari seminggu.

Fikri kembali membereskan baju-bajunya. Tak lupa ia cium foto abinya dan diletakkan gimbotsatu-satunya, di sebalah foto sang abi. Fikri ingin di pertemuan selanjutnnya gimbot Fikri sudah bisa dimainkan. Di pertemuan selanjutnya, yang entah kapan.

Hari demi hari pun berlalu. Sampai pada tanggal 13 Juli 2016. Sebuah mobil putih yang dikemudikan aminya sudah menunggu Fikri di luar rumah. Namun Fikri masih duduk di teras rumahnya bersebelahan dengan koper dan tasnya.

"Fikri, bae-bae disana ya. Jangan banakal. Ingat habib, hababa, dan samua yang disini ya." kata ameh.

Fikri mengangguk. Dalam diamnya, ada sesuatu yang terpendam dalam hatinya. Ada sesuatu yang tak bisa begitu saja ia tinggalkan. Ia menunggu seseorang yang sudah seminggu ini ia tunggu, siapa lagi kalau bukan abinya. Ia menunggu sang abi. Terus menungu sang abi. Ia tak mau di perpisahannya kali ini tanpa abi. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk berpisah dengan orang-orang terkasihnya, terutama sang abi, sekali pun mereka tidak dekat.

Fikri tampak mengusap bulir-bulir yang keluar dari matanya. Ameh mengusap rambut Fikri. "Fikri kalo rindu, lihat foto yang ameh kasih. Fikri manangis?." kata ameh.

Fikri masih mengusap derai air matanya, "Nanti kalo abi so pulang, kasih akan gimbot Fikri." kata Fikri.

Ameh tersenyum. "Iya sayang, ameh bilang nanti ya. Kasian ami so batunggu di  mobil." kata ameh.

Fikri melihat mobil berwarna putih itu. Berpikir, apakah sekarang atau sebentar lagi waktu untuk menunggu abi.

"Ayo sayang." kata ameh.

Akhirnya Fikri menyerah. Kejadian tahun lalu akan terulang. Dia harus menerima bahwa pertemuan dengan abinya mungkin akan terwujud di tahun depan, atau tahun depannya lagi, atau entah berapa tahun lagi. Tidak berapa lama datang seorang pengendara motor dengan membawa barang-barang yang tepat berhenti di depan rumah mereka. Tampaknya seorang tukang kirim barang. Ia menghampiri ameh dan memberikan sesuatu yang terbungkus rapi dengan kemasan berwarna coklat. Ameh menandatangani kertas yang diberikan si bapak dan melihatnya.

"Amaa.. ini barang dari abimu Fik. Coba lihat ini" kata ameh.

Fikri melihat barang tersebut dan mengambilnya, sedangkan sang ami sudah lama menunggu dan minta cepat-cepat berangkat ke Pondok Pesantren Alkhairaat.

Fikri pun akhirnya naik ke dalam mobil. Dia melambaikan tangannya pada habib, hababa, dan tentunya ameh. Semakin jauh dari rumah, laju mobil semakin kencang. Fikri menundukkan kepalanya, melihat kardus coklat kecil tersebut. Ia penasaran dan akhirnya merobek bungkusan tersebut. Ia buka lagi kardus kecil itu dan mengambil apa yang berada disana. Matanya berkaca-kaca dan tak dapat menahannya lagi. Ia tidak percaya, pertama kali dalam hidupnya ia mendapatkan sesuatu dari abinya. Sesuatu yang entah apa, ia tak lagi menginginkan apapun kecuali abinya saat ini. Fikri menarik isi kardus kecil tersebut dan ternyata sebuah gimbot  baru berwarna hijau yang di belakangnya tertempel kertas putih bertinta hitam. Disana tertulis..

Fikri sayang, anak abi. Maaf abi tidak bisa datang ke Palu tahun ini. Abi ada kerja di sini, Fikri tahu 'kan. Abi janji, abi akan pulang ke Palu dan bukan cuma di hari lebaran saja. Fikri pegang janji abi ya. Fikri juga jangan nakal-nakal ya di alkhairaat.. InsyaAllah saat abi pulang, abi juga akan ke alkhaairat, tidak lama lagi. Baik-baik disana Fikri.

Setelah membaca surat dari abinya, Fikri tersenyum dan derai air matanya terhenti. Ia tersenyum lama dan memandangi lagi gimbotnya. Sambil memeluk kardus kecil itu, Fikri tak lagi terlihat bersedih selama di perjalanan hingga akhirnya sampai di Pondok Pesanten Alkhaiirat. Fikri menyambut kehidupan barunya di Alkhaiirat, Fikri menunggu kedatangan abinya dari sekarang. Hatinya berbisik kalau ia harus bersabar untuk yang kesekian kalinya. Air matanya akan membawa abinya pulang. Setiap tetes air mata Fikri adalah kerinduan pada abinya. Dan setiap kata yang tertulis pula lah kisah ini nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun