"Iya, betul. Aku sedang tak punya banyak waktu untuk membaca buku puisi atau novel, seleksi di tingkat nasional sebentar lagi. Aku ingin sehebat Kak Lionel, kelas 12 MIPA 1, dia dapat perunggu tahun kemarin. Bayangkan betapa beruntung perempuan yang jadi kekasihnya," Paramita lalu bercerita panjang lebar, ternyata dia suka bercerita banyak seperti ini.
"Kamu suka ya, pada laki-laki yang sangat pintar?"
"Tentu saja."
Lionel memang tampan dan cerdas. Tipikal siswa laki-laki idaman di sekolah. Sedangkan aku tak pintar-pintar amat. Ulangan bab sistem pencernaan saja aku dapat nilai di bawah rata-rata sekelas. Aku tak yakin aku bisa jadi laki-laki yang disukai Paramita, apalagi jika tolok ukurnya murid peraih medali perunggu itu.
Mulai terbersit rasa rendah diri dalam diriku, tapi namanya lelaki, Bung, kau tak boleh kalah sebelum berperang!
Tiap hari aku masih mengunjungi perpustakaan, perlu usaha lebih juga mencintai perempuan beda kelas. Paramita kadang masih mondar-mandir di antara rak-rak buku, mungkin buku seisi perpustakaan ini ingin ia lahap semua.
Aku memendam perasaan ini sampai kini sudah kelas dua belas, tak cukup berani aku mendekati gadis pintar yang pernah dipanggil maju ke lapangan saat upacara. Ya, benar, maju menyumbang piala untuk sekolah. Sebenarnya, kata teman-temanku, wajah Paramita biasa saja, yang mereka akui cantik dari dirinya hanyalah prestasinya, selain namanya. Kalau untuk paras, Canina, Talita, Ayu, Desika, jauh lebih cantik.
Tak sadar aku melamun lama sekali di kantin sambil makan nasi campur hingga bel sudah berbunyi. Sudah masuk jam pelajaran bahasa Indonesia.
Pak Wisnu tiba-tiba membagikan kertas berisi soal. Ya ampun, ulangan ternyata! Kubaca pelan-pelan kalimat perintahnya, coba interpretasikan dan tuliskan makna penggalan puisi di bawah ini menurut Anda!
Â
cuma tersedia masa kini namun orang-orang