Mohon tunggu...
Iqlima Hatta Wardhani
Iqlima Hatta Wardhani Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saya seorang perempuan 22 tahun yang suka menuliskan pemikiran saya di Instagram, Medium, dan blog pribadi, beberapa kali tergabung dalam project Nulis Bareng yang diadakan beberapa penerbit indie. Karya saya telah menjadi bagian dari 9 buku antologi bersama teman-teman dalam event.

Senang membaca buku dan konten terkait mental health dan pengembangan diri. Menyukai digital drawing, menulis puisi, dan hal-hal yang tenang dan teduh seperti hujan dan malam sunyi. Berharap suatu saat punya sebuah karya kecil berisi kumpulan puisi serta ilustrasi yang dibuat sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paramita

30 September 2024   17:25 Diperbarui: 30 September 2024   17:34 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku pernah terhisap begitu dalam ke sebuah momen di perpustakaan lima tahun silam. Tempat itu menjadi tempat pertemuan intens pertamaku dengan Paramita.

Paramita sering ke sana. Kadang kuamati dia mondar-mandir dari rak buku fiksi, lalu non-fiksi, kemudian rak biografi, sampai rak buku-buku olimpiade dan buku paket kelas sebelas serta dua belas.

Dia tak berkacamata –seperti stereotipe yang kerap ditujukan untuk gadis pintar kutu buku– tapi melihat dia sering menenteng Campbell jilid 1 dan 2, pastilah dia anak kelas OSN yang kecerdasannya tak perlu diragukan lagi.

Perpustakaan SMA kami sudah mulai mencoba mengikuti arus digitalisasi. Sistem peminjaman buku tak lagi menggunakan kartu yang diisi dengan tulisan tangan siswa peminjam, lalu diperiksa oleh ibu penjaga perpustakaan. Di SMA kami, hampir semua urusan administrasi –sampai sistem ujian– mulai terintegrasi dengan komputer. Setiap siswa mempunyai kode masing-masing, yang diambil dari Nomor Induk Siswa, untuk mengakses data buku-buku apa saja yang sedang dipinjam beserta tenggat waktu pengembaliannya.

Aku, Anggara, sering sengaja mengantre di belakang Paramita saat menyerahkan buku pinjaman kepada Bu Sri untuk di-scan barcode-nya. Kadang dia membaca buku-buku yang belum pernah kubaca dan ketebalannya dua kali buku yang kupinjam.

Gadis ini menarik sepertinya.

Dan sebagai orang yang tak tergila-gila amat pada buku, aku jadi suka pergi ke perpustakaan demi memperhatikan Paramita. Pesona perempuan pintar memang berbeda.

Suatu hari, di sudut timur dekat jendela, gadis itu menyalakan komputer –ya, di perpustakaan ini ada banyak komputer yang bebas dipergunakan siswa kecuali untuk memutar musik dan bermain game– tak lama, ia terlihat sibuk mengetik sesuatu.

"Kamu sedang mengerjakan tugas apa? Kelas 11 MIPA tampaknya sedang tak banyak tugas dan ulangan, kalau di kelasku, sih," Itu pertama kalinya aku memulai siasat pendekatanku, tentu saja dengan sedikit berdebar. Aku sengaja duduk di kursi sebelahnya.

Paramita menoleh, agak canggung, "Hehe, aku tidak sedang mengerjakan tugas,"

"Lalu? Sedang mengetik apa? Biasanya anak-anak datang ke perpus untuk mengerjakan tugas, makalah, atau mencicil laporan praktikum,"

Paramita tampak diam sejenak, lalu dengan tersenyum dia bilang, "Lihat, ini aku sedang menulis blog. Aku rutin melakukannya, coba kamu perhatikan traffic pengunjungnya, sudah lumayan banyak, kan?"

Ternyata dia ramah, dengan lesung pipit dan jawabannya yang tak terkesan jual mahal namun tetap smart, kurasa aku sudah berada di ketertarikan level 3. Level 1 saat tahu dia anak kelas OSN, level 2 saat mengetahui buku-buku pinjamannya, level 3 saat dia punya blog dengan total pagewies 10.258.

Seperti bagaimanakah warna cinta? Apakah ia merah muda mewakili rekahannya? Atau kelabu mewakili pecahannya?

Kalimat ini pernah kubaca dalam novel Konspirasi Alam Semesta karya Fiersa Besari. Aku tidak tahu warna cinta apakah yang sedang kurasakan saat ini, di perpustakaan ini. Kurasa warnanya tak hanya merah muda dan kelabu. Mungkin lebih tepat jika kusebut warnanya seperti kuning yang menyala dan menghangatkan.

"Kalau kamu, di perpustakaan biasanya melakukan apa? Buku apa yang kamu suka?" Gadis yang namanya indah sekali itu, Paramita itu, tiba-tiba bertanya padaku yang sedang sibuk menebak-nebak warna cinta dalam hatiku. Aku gelagapan.

"Hm, em ... aku hanya suka mengelilingi perpustakaan, seperti orang bingung, aku tak yakin kalau aku punya buku bacaan favorit,"

"Hahaha, sungguh?" Kedua matanya menyipit, tertawa, "Coba sesekali kamu baca buku puisi karya Aan Mansyur, sepertinya akan menantang dan membuatmu percaya bahwa ada satu hal yang sangat indah di muka bumi ini,"

Aku agak bingung dengan pertanyaan dan cara Paramita menanyakannya, dan dengan gugup aku mengatakan, "Apa, cinta kah?"

Astaga mulutku!

"Tidak, bukan, satu hal itu adalah puisi. Kata Andrea Hirata dalam novel Ayah, puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah. Kamu harus mencoba membacanya, sesuatu yang baru,"

"Tapi kamu sendiri, kulihat-lihat sering membaca Campbell, ya? Itu buku untuk belajar olimpiade biologi, kan? Kamu anak kelas OSN, kan?"

"Iya, betul. Aku sedang tak punya banyak waktu untuk membaca buku puisi atau novel, seleksi di tingkat nasional sebentar lagi. Aku ingin sehebat Kak Lionel, kelas 12 MIPA 1, dia dapat perunggu tahun kemarin. Bayangkan betapa beruntung perempuan yang jadi kekasihnya," Paramita lalu bercerita panjang lebar, ternyata dia suka bercerita banyak seperti ini.

"Kamu suka ya, pada laki-laki yang sangat pintar?"

"Tentu saja."

Lionel memang tampan dan cerdas. Tipikal siswa laki-laki idaman di sekolah. Sedangkan aku tak pintar-pintar amat. Ulangan bab sistem pencernaan saja aku dapat nilai di bawah rata-rata sekelas. Aku tak yakin aku bisa jadi laki-laki yang disukai Paramita, apalagi jika tolok ukurnya murid peraih medali perunggu itu.

Mulai terbersit rasa rendah diri dalam diriku, tapi namanya lelaki, Bung, kau tak boleh kalah sebelum berperang!

Tiap hari aku masih mengunjungi perpustakaan, perlu usaha lebih juga mencintai perempuan beda kelas. Paramita kadang masih mondar-mandir di antara rak-rak buku, mungkin buku seisi perpustakaan ini ingin ia lahap semua.

Aku memendam perasaan ini sampai kini sudah kelas dua belas, tak cukup berani aku mendekati gadis pintar yang pernah dipanggil maju ke lapangan saat upacara. Ya, benar, maju menyumbang piala untuk sekolah. Sebenarnya, kata teman-temanku, wajah Paramita biasa saja, yang mereka akui cantik dari dirinya hanyalah prestasinya, selain namanya. Kalau untuk paras, Canina, Talita, Ayu, Desika, jauh lebih cantik.

Tak sadar aku melamun lama sekali di kantin sambil makan nasi campur hingga bel sudah berbunyi. Sudah masuk jam pelajaran bahasa Indonesia.

Pak Wisnu tiba-tiba membagikan kertas berisi soal. Ya ampun, ulangan ternyata! Kubaca pelan-pelan kalimat perintahnya, coba interpretasikan dan tuliskan makna penggalan puisi di bawah ini menurut Anda!

 

cuma tersedia masa kini namun orang-orang

mengangankan masa depan. aku terperangkap

di masa lampau dan tidak ada lagi yang ingin pulang. aku

harap sanggup hidup semata mencintai

langit selapang kesendirian membutuhkan

kesendirian yang lain.

bulan itu mengapung di atap kota –

berapa banyak kesedihan siap mengajak

bercakap? aku ingin jadi banyak

tapi aku tidak pernah cukup.

(Aan Mansyur, 2017)

Aku membaca baris demi baris dan tertawa-tawa sendiri seakan aku sudah mengetahui maknanya. Tawa yang disebabkan juga karena rasanya puisi itu seperti membaca seluruh hatiku. Aku yang sedang ingin jadi banyak untuk Paramita, tapi tak pernah merasa cukup. Bait kedua seperti menceritakan aku, Bung! Aku, Anggara, Bung!

Siapakah penyair di balik puisi yang sukses membuat makin sedih pemuda galau ini?

Kubaca ulang lagi dari kata di baris pertama hingga ternyata ada nama penyairnya di dalam tanda kurung baris terakhir. Aan Mansyur, ini yang diceritakan Paramita saat itu, kan? Bahwa temuan manusia yang paling indah salah satunya adalah puisi, dan  sungguh puisi ini sebenarnya tak hanya indah, namun membuatku ingin berhenti menjadi lapang atas kesendirianku. Aku harus jadi banyak! Aku harus merasa cukup, kalau bisa lebih dari cukup!

***

Tak terasa kini sudah lima tahun, jika aku disuruh menyebutkan siapa orang yang paling berjasa bagiku mungkin orang itu adalah Pak Wisnu. Aku baru saja lulus menyandang predikat ‘dengan pujian’ dari Fakultas Ilmu Budaya bulan lalu. Demi apa ulangan interpretasi puisi saat itu begitu berbekas untukku, dan Pak Wisnu sangat bersabar ketika tiap jam pelajarannya aku selalu mengajukan pertanyaan serta keinginanku tentang menulis puisi dan masuk jurusan sastra.

Berarti ada enam tahun total aku mencintai Paramita. Cinta yang tidak fana seperti waktu. Cinta yang warnanya mungkin sekarang kelabu mewakili pecahannya. Cinta yang walaupun aku sudah jadi banyak tapi Paramita tak pernah merasa cukup.

Paramita kudengar kabarnya telah menjadi kekasih Rangga, teman sekelasnya yang sama-sama suka menenteng Campbell ke mana-mana saat SMA. Mereka kuliah di kampus sekaligus jurusan dan kelas yang sama.

Walau begitu, puisi-puisi bagiku tetaplah temuan yang paling indah, seperti kata Paramita. Saat wisuda SMA aku menghadiahinya lima puisi karyaku sendiri, namun, puisinya ternyata tak sampai di hatinya. Termasuk ungkapan rasa cintaku padanya. Titik indah dari puisi-puisi ternyata adalah ia membuat manusia berani jujur.

Cilacap, 30 September 2024

Bionarasi:

Iqlima Hatta Wardhani, biasa dipanggil Iqlima, lahir di Cilacap pada 20 April 2001. Menyukai menulis sejak kelas 1 SMP, sejak merasa bahwa dirinya membaik melalui menulis. Karyanya telah terbit dalam beberapa buku antologi, Memiliki dan Kehilangan (Jejak Publisher), Kunang-Kunang dalam Toples Kaca (Poetry Publisher), Tuhan, Aku Ingin Bahagia (Guepedia). Atas izin Allah SWT Iqlima berkesempatan menjadi salah satu pemenang Lomba Menulis Blog Catatan Pringadi bekerjasama dengan Tempo Insitute pada 2020. Senang sekali jika teman-teman menyapa melalui Instagram @iqlima_hatta. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun