Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setengah Jalan Pulang

3 Februari 2025   12:43 Diperbarui: 3 Februari 2025   12:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Melih Akkus: https://www.pexels.com

"Udah berapa kali Emak bilang, potong rambut lu yang kayak preman itu!"

Teriakan Emak masih saja terngiang di telinga Andi. Dia menendang kerikil di trotoar sambil terus berjalan. Sore yang gerah di Tangerang membuatnya tambah kesal. Keringat mengucur dari balik rambutnya yang dicat merah - hasil nebeng cat rambut teman band-nya minggu lalu.

"Buset dah, panas banget," gumamnya sambil menyeka keringat. Tas gitar butut tersampir di bahunya, hasil menabung dari kerja paruh waktu di warnet. Andi baru pulang latihan, lebih tepatnya nongkrong bareng teman-teman punk-nya di kolong jembatan dekat stasiun.

Hp-nya bergetar. Sebuah pesan masuk - dari emak.

"Jangan lupa beli beras 5 kilo. Uangnya pake yang kemaren Emak kasih."

Andi mengusap layar hp-nya yang retak. Uang yang harusnya buat beli senar gitar minggu depan terpaksa untuk membeli beras. Meskipun uang itu adalah pemberian emak. Dia menghela napas panjang.

Setibanya di warung Mpok Minah, dia berpapasan dengan Om Rahmat, tetangga sebelah yang kerja di bank. Seperti biasa, Om Rahmat meliriknya sinis.

"Tuh kan Andi, udah Oom bilang. Rambut kayak gitu mana ada yang mau nerima kerja. Coba kayak Deni tuh, anaknya Bu Ratna. Udah jadi manager bank dia."

Andi cuma tersenyum tipis. Basi. Tiap ketemu pasti ceramah hal yang sama, topik yang sama dan orang yang sama. Kadang dia pengen teriak: emangnya salah kalau gue suka punk? Nilai sekolahnya dulu juga bagus-bagus aja. Band-nya juga mulai dapat job manggung, meski masih di acara-acara kecil. Baru merintis, wajar lah!

"Makasih Om sarannya," jawab Andi sekenanya, sambil menenteng beras yang baru dibeli.

Sesampainya di mulut gang, Andi melihat Mila - adik kelasnya di SMA dulu - sedang menjemur pakaian. Mila tersenyum menyapa, tapi buru-buru masuk rumah begitu ibunya memanggil. Andi tahu, Tante Yuli, ibunya Mila, nggak suka anaknya deket-deket sama anak punk.

"Bang Andi!"

Teriakan Dika, bocah SD tetangganya, membuyarkan lamunan. Dika berlari menghampirinya dengan mata berbinar-binar.

"Bang, kapan ngajarin saya gitar lagi? Kemaren keren banget pas Abang manggung di ulang tahunnya Mba Sari!"

Andi tersenyum, mengacak-acak rambut Dika. Paling tidak masih ada yang memandang dirinya utuh, tidak sebelah mata. "Besok ya, kalo Abang udah selesai bantuin Emak."

Di depan rumah, Emak sedang menyapu teras. Raut wajahnya kusut, nampak kesal, tapi agak melunak sedikit ketika melihat beras yang Andi bawa.

"Ganti baju sana, bantuin Emak masak."

Andi mengangguk tanpa banyak kata, setelah punggung tangan Emak diciumnya di beranjak masuk. Di dapur, sambil mencuci sayur, dia memberanikan diri untuk bicara.

"Mak, besok band Andi mau manggung di acara ulang tahun kota Tangerang. Di alun-alun."

"Terus?"

"Andi... mau ngundang Emak sama Bapak, nonton."

Emak menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengiris bawang.

"Andi tau. Emak sama Bapak nggak suka liat Andi kayak gini. Tapi Andi janji, Mak. Andi bakal buktiin kalo musik bukan cuma buat seneng-seneng. Andi udah mulai dapet honor manggung kok, lumayan lah buat bantu-bantu di rumah."

Tiba-tiba semua menjadi hening sejenak. Suara penggorengan yang mendesis jadi terdengar lebih keras.

"Bener ya? Jangan bikin malu." Suara Emak memecah keheningan.

Andi mendongak tak percaya. Senyumnya mengembang. "Serius Mak? Emak mau dateng?"

"Ya... Emak pikir-pikir dulu. Tapi inget, besok potong rambut."

"Mak, pleaseeee... rambutnya jangan. Andi janji bakal lebih rajin bantuin Emak deh."

Emak menggeleng-geleng, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya.

Malam itu, sambil tiduran di kasur butut-nya, Andi memandangi poster-poster band punk di dinding kamarnya. Mungkin benar kata Rio, vokalis band-nya: being punk is not about how you look, it's about how you think and act.

Dia meraih gitar tuanya, memetik pelan lagu yang akan dibawakan besok. Lagu tentang anak muda, pemberontakan, dan pencarian jati diri. Tapi juga tentang keluarga, tentang Emak yang diam-diam selalu menyisihkan lauk lebih untuknya, tentang Bapak yang pura-pura tidur waktu dia pulang larut sehabis manggung.

Mungkin memang butuh waktu untuk orang-orang disekelilingnya mengerti. Tapi setidaknya, hari ini Emak sudah membuka sedikit pintu hatinya. Dan buat Andi, itu adalah setengah jalan pulang.

Pagi itu, Andi terbangun dengan kepala berdenyut, sedikit pusing karena tidur terlalu larut semalam. Teriakan Mila dari luar membuatnya kaget.

"Bang Andi! Bang Andi!"

Dia membuka pintu ruang tamu setengah malas. Mila berdiri dengan wajah panik.

"Kenapa, Mil?"

"Rio... Rio masuk rumah sakit. Abis berantem sama gengnya Joko."

Jantung Andi mencelos. Rio, sohibnya sejak SMP, vokalis band mereka. Padahal sore ini mereka harus manggung.

"Rumah sakit mana?"

"RS Sejahtera... tapi Bang, tunggu..."

Belum selesai Mila ngomong, Andi udah menyambar jaket dan juga dompetnya. Persetan sama sarapan. Tapi pas mau naik motor, dia baru inget motornya dipinjem Bapak buat kerja.

"Andi! Mau ke mana?"

Suara Emak menghentikan langkahnya. "Rio masuk rumah sakit, Mak. Andi pergi dulu."

"Terus manggung nanti gimana? Kan Emak udah bilang mau nonton!"

"Manggung harus jadi, Mak. Andi udah janji sama Emak."

Andi segera berlari menuju rumah sakit.

Di RS, keadaan Rio benar-benar kacau. Muka lebam, tangan kiri patah. Di sebelah bangsal tempat Rio terbaring, ada Joko di sana. Musuh bebuyutan mereka sejak SMA. Andi langsung naik pitam.

"Ngapain lo di sini?" Andi mengepalkan tangan.

"Andi... Andi, tenang dulu," Rio berusaha bangkit dari tempat tidur. "Joko yang bawa gue ke sini."

"Hah?" Andi tercengang.

Joko menghela napas panjang. "Sori, sob. Anak buah gue yang mulai. Gue udah larang, tapi..."

"Tapi apa? Lo pikir kata maaf bisa balikin tangan Rio? Bisa gantiin vokalis gue buat manggung sore ini?"

"Andi!" Rio memotong. "Please. Joko udah bantuin gue. Dia juga yang bayarin biaya rumah sakit."

Andi terdiam. Matanya masih menatap tajam ke arah Joko.

"Gue tau, gue ngerti lo benci gue. Tapi sumpah, sob. Gue udah berubah. Sejak bokap gue meninggal tahun lalu... gue sadar hidup gue tuh berantakan, gue mau berubah."

Mendengar kalimat itu Andi terduduk di kursi, memijat kepalanya yang tambah pusing. Manggung lima jam lagi. Rio nggak bisa nyanyi. Duit hasil manggung harusnya buat bayar kontrakan studio bulan ini.

"Gue... gue bisa bantu lo manggung," Joko tiba-tiba bersuara.

"Maksud lo?"

"Gue tau semua lagu lo. Tiap lo manggung di cafe, gue selalu nongkrong di sana... gue suka musik lo, Sob. Bener-bener suka. Tapi gue malu ngakuinnya."

Rio ketawa pelan, tapi langsung meringis kesakitan. "Tuh kan. Dari dulu gue bilang juga apa. Joko tuh sebenernya fans kita." Rio menatap Andi sambil meringis.

"Please, kasih gue kesempatan," Joko menatap Andi. "Anggep aja ini cara gue nebus kesalahan gue."

Hp Andi bergetar. Pesan singkat dari Emak: "Udah siap-siap ke alun-alun. Bapak mo pulang cepet hari ini."

Andi mengusap wajahnya. Ini gila. Nyuruh musuh bebuyutan jadi vokalis? Tapi...

"Lo hafal semua liriknya?"

Joko mengangguk mantap Andi dengan pasti.

"Kalo lo bikin ulah, gue..."

"Nggak akan, Sob. Sumpah. Gue enggak bakal bikin rusuh."

Di alun-alun sore itu, jantung Andi sore bagai diikat di atas pohon duren. Bukan karena Emak dan Bapak yang duduk di deretan depan. Tapi juga Joko... dengan gaya rambut yang biasanya klimis kini acak-acakan, berdiri di depan mic.

"Lagu ini..." Joko memulai, "buat semua yang pernah gue sakiti. Yang pernah gue remehkan. Maaf, dan... makasih udah kasih gue kesempatan kedua."

Dentuman drum mulai menghentak. Joko melirik Andi, memberi isyarat. Dan saat suara serak Joko mulai mengalun, Andi tertegun.

Sempurna.

Bahkan lebih dalam dari cara Rio membawakan lagu ini. Mungkin karena Joko ngerti - tentang penyesalan, tentang perubahan, tentang kesempatan kedua.

Dari sudut matanya, Andi melihat Emak mengusap air mata. Bapak merangkul pundak istrinya, tersenyum bangga.

Dan saat lagu terakhir selesai, Joko memeluk Andi erat.

"Thanks ya, Sob," bisiknya parau.

Malam itu, sambil membereskan peralatan, Andi termenung. Mungkin ini yang namanya dewasa - ketika kita belajar bahwa musuh terbesar kita adalah ego sendiri. Bahwa kadang, maaf dan kesempatan kedua bisa jadi awal dari persahabatan yang lebih dalam.

"Andi," suara Bapak mengejutkannya. "Kapan lo manggung lagi?"

Andi tersenyum. Setengah jalan pulang itu, ternyata bisa datang dengan cara yang tidak pernah kita duga.

-Tamat-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun