"Kalo lo bikin ulah, gue..."
"Nggak akan, Sob. Sumpah. Gue enggak bakal bikin rusuh."
Di alun-alun sore itu, jantung Andi sore bagai diikat di atas pohon duren. Bukan karena Emak dan Bapak yang duduk di deretan depan. Tapi juga Joko... dengan gaya rambut yang biasanya klimis kini acak-acakan, berdiri di depan mic.
"Lagu ini..." Joko memulai, "buat semua yang pernah gue sakiti. Yang pernah gue remehkan. Maaf, dan... makasih udah kasih gue kesempatan kedua."
Dentuman drum mulai menghentak. Joko melirik Andi, memberi isyarat. Dan saat suara serak Joko mulai mengalun, Andi tertegun.
Sempurna.
Bahkan lebih dalam dari cara Rio membawakan lagu ini. Mungkin karena Joko ngerti - tentang penyesalan, tentang perubahan, tentang kesempatan kedua.
Dari sudut matanya, Andi melihat Emak mengusap air mata. Bapak merangkul pundak istrinya, tersenyum bangga.
Dan saat lagu terakhir selesai, Joko memeluk Andi erat.
"Thanks ya, Sob," bisiknya parau.
Malam itu, sambil membereskan peralatan, Andi termenung. Mungkin ini yang namanya dewasa - ketika kita belajar bahwa musuh terbesar kita adalah ego sendiri. Bahwa kadang, maaf dan kesempatan kedua bisa jadi awal dari persahabatan yang lebih dalam.