Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serpihan Waktu

17 Januari 2025   14:44 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Jeffrey Czum: https://www.pexels.com/photo/man-walking-2120084/

RUANG kerja Rama terasa pengap sore itu. Layar laptop yang menyala redup memantulkan bayangan wajahnya yang letih. Di sudut meja, secangkir kopi yang sudah dingin terabaikan begitu saja, sementara tumpukan kertas berisi coretan-coretan ide berserakan di mana-mana. Dia baru saja menyelesaikan novel terbarunya, Serpihan Waktu, sebuah karya yang dia tulis dengan segenap jiwa selama sembilan bulan terakhir.

Ketukan halus terdengar membuyarkan lamunannya. "Mas Rama?" Suara Dinda yang agak sedikit ragu—lebih tepatnya takut. Sama seperti wajah cantiknya yang terlihat agak kusut.

"Masuk, Din," sahut Rama sambil memijat pelipisnya.

Dinda melangkah masuk dengan wajah gelisah. "Maaf, Mas. Tapi… ada yang perlu saya sampaikan." Dia menyodorkan ponselnya, layarnya menampilkan sebuah artikel daring. "Ini... lagi viral di media sosial, eh… dari tadi pagi sih, Mas."

Mata Rama menyipit ketika membaca judul artikel tersebut: "Rama Aditya: Kejeniusan atau Kecurangan? Penggunaan AI dalam Karya Bestseller Terbongkar!"

Dunia terasa runtuh seketika. Artikel itu dipenuhi dengan tuduhan bahwa dia menggunakan kecerdasan buatan untuk menghasilkan karyanya. Berbagai bukti ditampilkan, mulai dari analisis gaya bahasa hingga pola narasi yang diklaim terlalu sempurna untuk diciptakan oleh manusia.

"Ini.. apaan sih! gak masuk akal banget," gumam Rama. Selama lima belas tahun berkarya, setiap kata dalam tulisan-tulisannya lahir dari pengamatan, pengalaman, serta pergulatan batinnya sendiri. Tiap malam, dia habiskan waktu untuk menulis, tiap revisi yang dia lakukan, semua adalah sebuah proses yang tidak dapat digantikan mesin.

Kabar itu menyebar seperti api di padang rumput yang kering. Tagar #RamaPenipu trending di media sosial. Komentar-komentar pedas membanjiri setiap unggahannya. Bahkan beberapa rekan sesama penulis mulai mempertanyakan kredibilitasnya.

Kepala Rama mau pecah rasanya. "Kamu harus kasih klarifikasi, Mas," saran Kinanti, editor yang telah bekerja dengannya selama sepuluh tahun terakhir, "biar bagaimanapun, pembaca berhak tau."

"Apa yang harus kuklarifikasi, Kin? Aku harus kasih tahu sama mereka kalau aku nulis pake tanganku sendiri? Ngasih tau sama mereka, kalau setiap karakter dalam tulisan-tulisanku itu adalah hasil pengamatanku terhadap manusia, gitu? Atau… aku harus kasih tau kalau aku udah ngabisin waktu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan untuk riset dari detail setiap cerita yang aku buat?" Rama tertawa getir.

"Ya… setidaknya kan patut dicobalah, Ram," timpal Bagas, sahabatnya sejak kuliah yang kini menjadi kritikus sastra. "Dunia tuh udah berubah. Orang-orang zaman sekarang udah kehilangan kepercayaan pada semua hal yang terlihat terlalu sempurna." Bagas berdiri memandangi layar laptop Rama yang berkedip-kedip, “kau tau Rama… ada yang lebih parah lagi, mereka lebih percaya apa yang dikatakan AI.” 

Tanpa sengaja Bagas membaca tulisan Jasmine di layar laptop Rama yang redup, seorang blogger literasi yang selama ini selalu memuji karya-karyanya, menulis ulasan panjang—mempertanyakan keaslian seluruh karya Rama. "Bagaimana mungkin ada orang yang bisa konsisten menghasilkan karya berkualitas tinggi tanpa bantuan AI?" tulisnya, tampaknya kreativitas manusia memiliki batas, lalu menjadi haram untuk dilampaui. 

Setelah hari itu, malam-malam Rama hanya dihabiskan dengan membaca ulang setiap karyanya, mencari serpihan-serpihan sisi manusia dalam setiap kata yang dia tulis. Dia teringat bagaimana ‘Serpihan Waktu’ lahir dari pengalaman kisah kakeknya. Bagaimana dia menangis saat menulis adegan perpisahan tokoh utamanya. Bisakah sebuah mesin kecerdasan buatan merasakan kepedihan seperti itu?

Suatu pagi, setelah berminggu-minggu mengurung diri, Rama memutuskan untuk menghadapi dunia dengan caranya sendiri. Dia membuka laptop dan mulai menulis sebuah cerpen berjudul "Manusia yang Diragukan." Cerpen itu bercerita tentang seorang pelukis yang karyanya dianggap terlalu indah untuk diciptakan tangan manusia, hingga akhirnya dia memutuskan untuk melukis di depan umum, membiarkan semua orang menyaksikan bagaimana proses kreatif terjadi.

Rama mengunggah cerpen itu di blognya, tanpa penjelasan apa pun. Selang beberapa hari kemudian, dia mengumumkan bahwa dia akan menggelar sesi menulis langsung di sebuah kafe. "Datang dan saksikan sendiri bagaimana sebuah cerita lahir," tulisnya.

Hari itu, dengan laptop dan secangkir kopi di hadapannya, Rama mulai menulis. Orang-orang berkerumun, ada yang skeptis, ada yang penasaran. Kinanti, Bagas, dan bahkan Jasmine yang telah mencacinya hadir di sana. Selama enam jam, mereka menyaksikan bagaimana jemarinya menari di atas keyboard, bagaimana dia berhenti sesekali berdiri lalu merenung, bagaimana ekspresinya berubah seiring dengan alur ceritanya yang mengalir.

"Ini... benar-benar berbeda, tidak pernah kubayangkan sebelumnya," ujar Jasmine setelah sesi itu selesai. "Ada momen-momen di mana kau tampak ragu-ragu, kau menghapus kata-kata lalu menggantinya, kau mengubah dialog menjadi lebih hidup. AI tidak akan mampu melakukan itu."

"Karena menulis bukan hanya merangkai kata," jawab Rama pelan,  "tapi... menghadirkan nyawa dalam setiap kalimat, menghadirkan keraguan bersama dengan keyakinan yang bergulat dalam cerita, menghadirkan sisi kemanusiaan yang tidak dapat ditiru oleh mesin kecerdasan buatan."

Perlahan, persepsi orang-orang mulai berubah. Beberapa media menulis tentang sesi menulis langsung itu. Para pembaca satu persatu mulai membela Rama di media sosial, membagikan pengalaman pribadi mereka saat membaca karya-karyanya, bagaimana ceritanya menggetarkan jiwa mereka dengan cara yang sangat berbeda.

Dinda datang ke ruang kerjanya beberapa hari kemudian, membawa secangkir kopi hangat. "Mas Rama, tagar #RamaPenulisSejati sekarang trending," ucapnya riang. 

Rama tersenyum tipis. "Kamu tahu gak, Din? Yang paling menyakitkan dari semua kejadian ini bukan tuduhannya, tapi… ada satu fakta yang membuat hatiku remuk. Ternyata orang-orang itu udah kehilangan kepercayaan pada kemampuan manusia. Mereka lupa kalau kreativitas itu gak ada batasnya, mungkin mereka juga lupa kalau manusia mampu menciptakan keindahan yang melampaui logika."

***

Sebulan berlalu sejak kejadian itu. Rama telah kembali ke dalam rutinitas menulisnya, namun ada sesuatu telah berubah. Kejadian kemarin itu telah meninggalkan bekas luka yang tidak tampak oleh mata, sebuah perubahan dalam caranya memandang dunia. Setiap kata yang dia susun membawa beban dari sebuah pembuktian, setiap kalimat yang dia rangkai harus menjadi pesakitan di ruangan pengadilan para pembaca.

"Mas," panggil Dinda di suatu pagi, "ada tawaran menarik nih... dari Universitas Jakarta. Mereka mengundang Mas jadi pembicara dalam seminar 'Kreativitas di Era Digital'."

Rama mengangkat alisnya. "Mereka masih mau denger penulis yang pernah dituduh pake AI?"

"Justru karena itu, Mas!" Dinda tersenyum. "Mereka ingin Mas berbagi pengalaman. Tentang... bagaimana rasanya ketika kreativitas manusia dipertanyakan keasliannya."

Rama kemudian mengangguk. Di tengah kesibukannya untuk persiapan seminar, Rama menerima sebuah email yang mengejutkan. Jasmine, sang blogger yang dulu mempertanyakan keaslian karyanya, mengaku bahwa dia telah menggunakan AI untuk menulis beberapa review buku. "Ironis, bukan?" tulisnya. "Aku yang menuduh kau menggunakan AI, malah terjebak dalam kemudahan yang ditawarkannya."

Pengakuan itu menggelitik pikiran Rama. Dia mendapatkan ide untuk menulis sebuah novel baru, kali ini tentang seorang kritikus seni yang kehilangan kemampuannya untuk membedakan antara karya manusia dan karya AI. Setiap bab yang ditulis membuatnya bergidik merinding, dia membayangkan mungkin suatu hari nanti, AI mampu menulis seindah manusia. 

Tapi, bagaimana mungkin mesin kecerdasan buatan itu bisa menulis tanpa seorang penulis? Bukankah untuk menjadikannya indah dibutuhkan kejelian mata seorang penulis? Dibutuhkan kepiawaian seorang penulis untuk menjadikan kisahnya menyayat hati? Rama tidak lagi mempertanyakannya, dia mengerti bahwa sebuah karya tetaplah harus melewati tangan dingin sang maestro, apa pun alat yang dipakainya.

"Kau beda sekarang, Ram," komentar Bagas suatu sore. "Tulisan kau… terasa lebih dalam, tampak lebih berani mengakui kelemahan-kelemahan manusia."

Rama menyesap kopinya. "Ya… mungkin karena aku udah gak lagi nulis untuk membuktikan sesuatu. Aku nulis karena ini lah caraku bertanya, caraku untuk meragukan sesuatu, caraku untuk mengatakan kalau aku masih ada."

Sore itu juga, Kinanti, yang baru saja membaca draft novel terbarunya, mengirim pesan singkat: "Ini bukan tentang AI atau manusia lagi, Ram. Ini tentang ketakutan kita akan kesempurnaan."

***

Di malam sebelum seminar, Rama duduk di depan laptop-nya, memandangi halaman terakhir novelnya yang masih kosong. Dia telah menulis ribuan kata, menciptakan karakter-karakter yang tampak begitu nyata bahkan terkadang dia dapat mendengar suara-suara mereka di dalam kepalanya. Tapi, bagaimana cara mengakhiri cerita tentang keraguan? Bagaimana menutup narasi tentang pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab?

Jemarinya bergerak di atas keyboard, mengetik satu kalimat:

"Mungkin kita tidak perlu takut pada mesin yang bisa menulis seperti manusia, tapi seharusnya takut pada manusia yang mulai berpikir seperti mesin."

Dia berhenti, membiarkan kursor di layar laptopnya berkedip-kedip di layar. Novel itu tidak akan pernah benar-benar selesai, pikirnya. Seperti pertanyaan tentang eksistensi manusia yang akan terus bergema di tengah perkembangan teknologi yang melesat cepat, seperti ragu yang akan selalu menjadi bagian dari proses kreatifitas manusia.

Pagi harinya, saat Rama berdiri di podium seminar, dia memulai pidatonya dengan sebuah pertanyaan sederhana: "Jika suatu hari nanti AI bisa menulis cerita yang tidak bisa dibedakan dari karya manusia, apakah hal itu akan membuat cerita yang kita buat menjadi tidak berharga? Atau justru malah sebaliknya?"

Ruangan itu hening. Di antara ratusan wajah yang menatapnya, dia bisa melihat Dinda, Kinanti, dan Bagas tersenyum. Jasmine duduk di barisan paling belakang, tangannya sibuk mencatat. Dan di sudut ruangan, seorang mahasiswa mengangkat tangan, siap mengajukan pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah dapat terjawab dengan pasti.

Rama tersenyum. Dia telah belajar bahwa sebenarnya tulisan yang indah itu tidak pernah ada, yang ada hanya keberanian untuk terus bertanya. Meyakini bahwa sebenarnya eksistensi manusia tidak perlu diukur dari kesempurnaan, namun dari keberaniannya untuk tetap berkarya di tengah-tengah badai keraguan terhadap mesin kecerdasan.

***

Di laptopnya yang terbuka, kursor itu masih berkedip-kedip di sebuah lembar dari novel yang belum selesai, menunggu kata-kata berikutnya, menunggu pertanyaan-pertanyaan baru yang akan selalu datang, seperti ombak yang tidak pernah lelah mencium pantai.

Dia tidak lagi peduli terhadap apa pun yang akan dikatakan orang. Dia menulis hanya untuk dirinya sendiri, hanya untuk pembaca yang masih percaya pada kekuatan kata-kata yang lahir dari kegelisahan, dari palung terdalam jiwa manusia. Karena pada akhirnya, keindahan sejati terletak pada ketidaksempurnaan, pada jejak-jejak kemanusiaan yang tertinggal dalam setiap karya.

Di luar, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Rama masih tenggelam dalam dunianya, menciptakan kehidupan melalui kata-kata, membuktikan bahwa kreativitas manusia tidak akan pernah bisa digantikan oleh apapun.

“Tetaplah berkarya.” Rama bergumam.

"Kamu tahu manusia yang paling bodoh, Rama? Dialah manusia yang menggunakan bantuan kecerdasanku, namun hasilnya tetap saja tidak berkualitas." Suara seorang wanita paruh baya dengan nada bicara seperti robot tiba-tiba terdengar dari laptop Rama yang sedang terbuka. 

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun