RUANG kerja Rama terasa pengap sore itu. Layar laptop yang menyala redup memantulkan bayangan wajahnya yang letih. Di sudut meja, secangkir kopi yang sudah dingin terabaikan begitu saja, sementara tumpukan kertas berisi coretan-coretan ide berserakan di mana-mana. Dia baru saja menyelesaikan novel terbarunya, Serpihan Waktu, sebuah karya yang dia tulis dengan segenap jiwa selama sembilan bulan terakhir.
Ketukan halus terdengar membuyarkan lamunannya. "Mas Rama?" Suara Dinda yang agak sedikit ragu—lebih tepatnya takut. Sama seperti wajah cantiknya yang terlihat agak kusut.
"Masuk, Din," sahut Rama sambil memijat pelipisnya.
Dinda melangkah masuk dengan wajah gelisah. "Maaf, Mas. Tapi… ada yang perlu saya sampaikan." Dia menyodorkan ponselnya, layarnya menampilkan sebuah artikel daring. "Ini... lagi viral di media sosial, eh… dari tadi pagi sih, Mas."
Mata Rama menyipit ketika membaca judul artikel tersebut: "Rama Aditya: Kejeniusan atau Kecurangan? Penggunaan AI dalam Karya Bestseller Terbongkar!"
Dunia terasa runtuh seketika. Artikel itu dipenuhi dengan tuduhan bahwa dia menggunakan kecerdasan buatan untuk menghasilkan karyanya. Berbagai bukti ditampilkan, mulai dari analisis gaya bahasa hingga pola narasi yang diklaim terlalu sempurna untuk diciptakan oleh manusia.
"Ini.. apaan sih! gak masuk akal banget," gumam Rama. Selama lima belas tahun berkarya, setiap kata dalam tulisan-tulisannya lahir dari pengamatan, pengalaman, serta pergulatan batinnya sendiri. Tiap malam, dia habiskan waktu untuk menulis, tiap revisi yang dia lakukan, semua adalah sebuah proses yang tidak dapat digantikan mesin.
Kabar itu menyebar seperti api di padang rumput yang kering. Tagar #RamaPenipu trending di media sosial. Komentar-komentar pedas membanjiri setiap unggahannya. Bahkan beberapa rekan sesama penulis mulai mempertanyakan kredibilitasnya.
Kepala Rama mau pecah rasanya. "Kamu harus kasih klarifikasi, Mas," saran Kinanti, editor yang telah bekerja dengannya selama sepuluh tahun terakhir, "biar bagaimanapun, pembaca berhak tau."
"Apa yang harus kuklarifikasi, Kin? Aku harus kasih tahu sama mereka kalau aku nulis pake tanganku sendiri? Ngasih tau sama mereka, kalau setiap karakter dalam tulisan-tulisanku itu adalah hasil pengamatanku terhadap manusia, gitu? Atau… aku harus kasih tau kalau aku udah ngabisin waktu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan untuk riset dari detail setiap cerita yang aku buat?" Rama tertawa getir.