"Ya… setidaknya kan patut dicobalah, Ram," timpal Bagas, sahabatnya sejak kuliah yang kini menjadi kritikus sastra. "Dunia tuh udah berubah. Orang-orang zaman sekarang udah kehilangan kepercayaan pada semua hal yang terlihat terlalu sempurna." Bagas berdiri memandangi layar laptop Rama yang berkedip-kedip, “kau tau Rama… ada yang lebih parah lagi, mereka lebih percaya apa yang dikatakan AI.”
Tanpa sengaja Bagas membaca tulisan Jasmine di layar laptop Rama yang redup, seorang blogger literasi yang selama ini selalu memuji karya-karyanya, menulis ulasan panjang—mempertanyakan keaslian seluruh karya Rama. "Bagaimana mungkin ada orang yang bisa konsisten menghasilkan karya berkualitas tinggi tanpa bantuan AI?" tulisnya, tampaknya kreativitas manusia memiliki batas, lalu menjadi haram untuk dilampaui.
Setelah hari itu, malam-malam Rama hanya dihabiskan dengan membaca ulang setiap karyanya, mencari serpihan-serpihan sisi manusia dalam setiap kata yang dia tulis. Dia teringat bagaimana ‘Serpihan Waktu’ lahir dari pengalaman kisah kakeknya. Bagaimana dia menangis saat menulis adegan perpisahan tokoh utamanya. Bisakah sebuah mesin kecerdasan buatan merasakan kepedihan seperti itu?
Suatu pagi, setelah berminggu-minggu mengurung diri, Rama memutuskan untuk menghadapi dunia dengan caranya sendiri. Dia membuka laptop dan mulai menulis sebuah cerpen berjudul "Manusia yang Diragukan." Cerpen itu bercerita tentang seorang pelukis yang karyanya dianggap terlalu indah untuk diciptakan tangan manusia, hingga akhirnya dia memutuskan untuk melukis di depan umum, membiarkan semua orang menyaksikan bagaimana proses kreatif terjadi.
Rama mengunggah cerpen itu di blognya, tanpa penjelasan apa pun. Selang beberapa hari kemudian, dia mengumumkan bahwa dia akan menggelar sesi menulis langsung di sebuah kafe. "Datang dan saksikan sendiri bagaimana sebuah cerita lahir," tulisnya.
Hari itu, dengan laptop dan secangkir kopi di hadapannya, Rama mulai menulis. Orang-orang berkerumun, ada yang skeptis, ada yang penasaran. Kinanti, Bagas, dan bahkan Jasmine yang telah mencacinya hadir di sana. Selama enam jam, mereka menyaksikan bagaimana jemarinya menari di atas keyboard, bagaimana dia berhenti sesekali berdiri lalu merenung, bagaimana ekspresinya berubah seiring dengan alur ceritanya yang mengalir.
"Ini... benar-benar berbeda, tidak pernah kubayangkan sebelumnya," ujar Jasmine setelah sesi itu selesai. "Ada momen-momen di mana kau tampak ragu-ragu, kau menghapus kata-kata lalu menggantinya, kau mengubah dialog menjadi lebih hidup. AI tidak akan mampu melakukan itu."
"Karena menulis bukan hanya merangkai kata," jawab Rama pelan, "tapi... menghadirkan nyawa dalam setiap kalimat, menghadirkan keraguan bersama dengan keyakinan yang bergulat dalam cerita, menghadirkan sisi kemanusiaan yang tidak dapat ditiru oleh mesin kecerdasan buatan."
Perlahan, persepsi orang-orang mulai berubah. Beberapa media menulis tentang sesi menulis langsung itu. Para pembaca satu persatu mulai membela Rama di media sosial, membagikan pengalaman pribadi mereka saat membaca karya-karyanya, bagaimana ceritanya menggetarkan jiwa mereka dengan cara yang sangat berbeda.
Dinda datang ke ruang kerjanya beberapa hari kemudian, membawa secangkir kopi hangat. "Mas Rama, tagar #RamaPenulisSejati sekarang trending," ucapnya riang.
Rama tersenyum tipis. "Kamu tahu gak, Din? Yang paling menyakitkan dari semua kejadian ini bukan tuduhannya, tapi… ada satu fakta yang membuat hatiku remuk. Ternyata orang-orang itu udah kehilangan kepercayaan pada kemampuan manusia. Mereka lupa kalau kreativitas itu gak ada batasnya, mungkin mereka juga lupa kalau manusia mampu menciptakan keindahan yang melampaui logika."