Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Membasahi Cerita yang Membisu

11 Januari 2025   08:39 Diperbarui: 11 Januari 2025   08:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh John-Mark Smith: https://www.pexels.com/id-id/foto/amplop-coklat-di-atas-meja-281962/ 

RINTIK hujan mengetuk-ngetuk atap rumah tua itu dengan iramanya yang tidak beraturan. Senja menyelinap, merayap di antara celah-celah awan kelabu, membawa serta keremangan yang perlahan menggerogoti sudut-sudut ruangan rumah yang menyimpan sejuta kenangan. Di sebuah kursi rotan yang sudah dimakan usia, Pak Darmo duduk termenung. Tangannya yang keriput menggenggam sehelai amplop kusam---surat terakhir dari putri semata wayangnya yang telah pergi merantau ke kota besar lima belas tahun silam.

Sudah berapa musim hujan berlalu sejak saat itu? Pak Darmo tak lagi menghitung. Yang dia tahu hanyalah rasa sepi yang mengendap seperti debu di sudut-sudut rumahnya, dan kerinduan yang menggantung berat di dadanya seperti awan mendung di luar sana. Surat itu---satu-satunya penghubung antara dia dan putrinya---kini hanya tinggal serpihan kenangan yang nyaris pudar.

"Ayah, maafkan Dewi yang harus pergi," begitu bunyi kalimat pertama dalam surat itu. Pak Darmo masih hafal setiap kata yang tertulis di dalamnya, meski tinta hitamnya telah memudar termakan waktu. "Kota ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Dewi janji akan pulang setelah sukses nanti."

Janji yang tak pernah terwujud.

Lima belas tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah banyak hal. Desa kecil tempat Pak Darmo tinggal kini telah berganti wajah. Sawah-sawah hijau yang dulu membentang sejauh mata memandang, kini telah berganti menjadi deretan rumah dan toko-toko yang sibuk dengan hiruk-pikuknya. Pohon rambutan di halaman rumahnya yang dulu sering dipanjat Dewi kecil, kini telah tumbang dimakan rayap. Hanya rumah tua ini yang masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang terasa begitu panjang.

Setiap kali hujan turun, Pak Darmo selalu teringat pada putrinya. Dewi kecilnya yang dulu senang berlarian di bawah tetesan air hujan, tertawa riang tanpa beban. Dewi yang rajin membantu di sawah, tidak peduli terik matahari atau guyuran hujan. Lalu ketika dewasa dia memutuskan untuk pergi, membawa serta mimpi-mimpi besarnya ke kota.

"Pak Darmo!" Sebuah suara mengejutkannya dari lamunan. Bu Ratih, tetangga sebelah rumah yang sudah seperti saudara sendiri, berdiri di ambang pintu dengan payung hitam di tangan. "Sudah sore begini kok masih melamun? Ayo makan dulu."

Pak Darmo tersenyum tipis. Bu Ratih memang selalu perhatian padanya sejak dia tinggal sendiri. Setiap sore, wanita paruh baya itu pasti datang membawakan makanan---kadang nasi dengan sayur lodeh, kadang bubur ayam, atau apa saja yang dia masak hari itu.

"Terima kasih, Bu Ratih. Tapi saya belum lapar," jawab Pak Darmo pelan.

Bu Ratih menghela napas. Dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan tetangganya itu. "Masih memikirkan Dewi?" tanyanya lembut sambil melangkah masuk dan menutup payungnya.

Pak Darmo tidak menjawab. Matanya yang mulai rabun kembali menatap amplop kusam di tangannya.

"Sudah coba telepon nomor lamanya?"

"Nomornya sudah tidak aktif, Bu," jawab Pak Darmo dengan suara bergetar. "Surat-surat yang saya kirim juga selalu kembali. Alamatnya sudah berubah mungkin."

Bu Ratih duduk di kursi rotan yang ada di sebelah Pak Darmo. Hujan di luar semakin deras, membuat suasana semakin sendu. "Saya yakin Dewi pasti baik-baik saja di sana. Mungkin dia sedang sibuk bekerja, atau sudah berkeluarga..."

"Ya, mungkin..." Pak Darmo mengangguk pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi kadang saya berpikir, apa salah saya sampai dia tidak mau pulang? Apa saya terlalu keras padanya dulu?"

"Jangan berpikir begitu, Pak," Bu Ratih menggenggam tangan tetangganya itu. "Dewi anak yang baik. Dia pasti punya alasannya sendiri."

Pak Darmo terdiam. Matanya yang berkaca-kaca menatap keluar jendela, ke arah hujan yang masih turun dengan derasnya. Di luar sana, seorang anak kecil berlarian dengan payung warna-warni, mengingatkannya kembali pada Dewi kecilnya.

"Dulu," Pak Darmo mulai bercerita dengan suara lirih, "setiap hujan turun, Dewi selalu minta izin main di luar. Katanya dia suka mendengar suara hujan, suka mencium bau tanah basah. Saya selalu melarangnya, takut dia sakit. Tapi dia tetap nekat main hujan-hujanan..."

Bu Ratih tersenyum mendengar cerita itu. "Dewi memang anak yang periang."

"Ya, sangat periang..." Pak Darmo menghela napas panjang. "Sampai suatu hari dia berubah. Mulai jarang tersenyum, jarang bicara. Saya pikir itu hanya fase remaja biasa. Ternyata..." Suaranya tercekat.

"Sudahlah, Pak," Bu Ratih mencoba menghibur. "Yang penting sekarang Pak Darmo jaga kesehatan. Kalau Dewi pulang nanti, dia pasti ingin lihat ayahnya sehat."

"Kalau dia pulang..." Pak Darmo tersenyum getir. "Saya sudah tua, Bu. Mungkin... dia tidak akan sempat melihat saya lagi."

"Jangan bicara begitu!" Bu Ratih menggeleng tegas. "Tuhan pasti punya rencana yang baik. Sekarang, ayo makan dulu. Saya bawakan soto ayam, masih hangat."

Pak Darmo akhirnya mengangguk. Dia melipat surat di tangannya dengan hati-hati dan menyimpannya kembali ke dalam laci. Sementara Bu Ratih bergegas ke dapur untuk menghangatkan soto yang dibawanya.

Di luar, hujan mulai mereda. Awan kelabu perlahan berarak pergi, menyisakan aroma tanah basah yang begitu familiar. Pak Darmo menatap ke arah jalan setapak di depan rumahnya yang becek. Berapa kali ia membayangkan Dewi akan muncul dari sana, berjalan pulang dengan senyum lebarnya seperti dulu?

Tapi kali ini, seperti ribuan sore sebelumnya, jalan setapak itu tetap sepi. Hanya ada genangan air yang memantulkan cahaya senja yang mulai meredup, dan harapan yang tak pernah padam di hati seorang ayah yang masih setia menunggu kepulangan putri semata wayangnya.

Malam pun turun perlahan, membawa serta kesenyapan yang begitu dalam. Di sudut ruangan, jam dinding tua terus berdetak, menghitung waktu yang terus bergulir tanpa henti. Dan Pak Darmo masih di sana, duduk di kursi rotannya yang usang, menunggu---seperti yang selalu dia lakukan setiap hari selama lima belas tahun terakhir.

Mungkin besok. Ya, mungkin besok hujan akan membawa Dewi pulang.

Namun malam itu, ketukan di pintu mengejutkan Pak Darmo dari lamunannya. Bukan ketukan halus seperti biasa dilakukan Bu Ratih ketika datang, tapi ketukan tergesa yang membawa firasat aneh. Dengan langkah tertatih, dia membuka pintu.

Seorang perempuan berdiri di sana, basah kuyup. Wajahnya tidak asing, raut muka itu mengingatkannya pada seseorang---tapi tidak, dia bukan Dewi. Perempuan itu memandangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Pak Darmo?" suaranya bergetar. "Sa...saya... saya Sekar, temannya Dewi di kota."

Jantung Pak Darmo seakan berhenti berdetak. Lima belas tahun menunggu kabar, dan kini seseorang berdiri di hadapannya, bukan orang yang dirindukannya. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Sekar memandangnya yang membuat dadanya sesak karena terhimpit rasa cemas.

"Dewi... dia menitipkan ini untuk Bapak." Sekar mengulurkan sebuah amplop, masih rapi meski sedikit basah oleh air hujan. "Maaf, Saya baru bisa menyampaikannya sekarang."

Tangan Pak Darmo gemetar menerima amplop itu. Ada yang berbeda dari amplop ini---terlalu rapi, terlalu baru, seperti bukan gaya Dewi yang selebor, Dewi yang selalu melakukan segala sesuatunya dengan tergesa-gesa.

"Apa..." Pak Darmo menelan ludah, "apa Dewi baik-baik saja?"

Sekar tidak langsung menjawab. Air matanya menetes perlahan, bercampur dengan tetesan air hujan di wajahnya. "Ba...bapak... se...sebaiknya baca saja suratnya."

Di kejauhan, petir menyambar membelah langit malam. Pak Darmo menatap amplop di tangannya, kemudian sosok Sekar yang masih berdiri gemetar. Ada sejuta pertanyaan yang ingin ia tanyakan, tapi lidahnya kelu. Perlahan, dia membuka amplop itu.

Hujan masih turun dengan deras di luar sana, menyamarkan isak tangis yang mulai terdengar dari dalam rumah tua itu. Di meja, surat lama yang selama ini disimpan Pak Darmo tergeletak di samping surat yang baru---dua kisah yang terpisah selama lima belas tahun, dua serpihan waktu yang mungkin tidak akan pernah dapat bertemu kembali.

Dan malam pun menggelap, menyimpan jutaan kenangan di dalam pelukannya.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun