Pak Darmo tidak menjawab. Matanya yang mulai rabun kembali menatap amplop kusam di tangannya.
"Sudah coba telepon nomor lamanya?"
"Nomornya sudah tidak aktif, Bu," jawab Pak Darmo dengan suara bergetar. "Surat-surat yang saya kirim juga selalu kembali. Alamatnya sudah berubah mungkin."
Bu Ratih duduk di kursi rotan yang ada di sebelah Pak Darmo. Hujan di luar semakin deras, membuat suasana semakin sendu. "Saya yakin Dewi pasti baik-baik saja di sana. Mungkin dia sedang sibuk bekerja, atau sudah berkeluarga..."
"Ya, mungkin..." Pak Darmo mengangguk pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi kadang saya berpikir, apa salah saya sampai dia tidak mau pulang? Apa saya terlalu keras padanya dulu?"
"Jangan berpikir begitu, Pak," Bu Ratih menggenggam tangan tetangganya itu. "Dewi anak yang baik. Dia pasti punya alasannya sendiri."
Pak Darmo terdiam. Matanya yang berkaca-kaca menatap keluar jendela, ke arah hujan yang masih turun dengan derasnya. Di luar sana, seorang anak kecil berlarian dengan payung warna-warni, mengingatkannya kembali pada Dewi kecilnya.
"Dulu," Pak Darmo mulai bercerita dengan suara lirih, "setiap hujan turun, Dewi selalu minta izin main di luar. Katanya dia suka mendengar suara hujan, suka mencium bau tanah basah. Saya selalu melarangnya, takut dia sakit. Tapi dia tetap nekat main hujan-hujanan..."
Bu Ratih tersenyum mendengar cerita itu. "Dewi memang anak yang periang."
"Ya, sangat periang..." Pak Darmo menghela napas panjang. "Sampai suatu hari dia berubah. Mulai jarang tersenyum, jarang bicara. Saya pikir itu hanya fase remaja biasa. Ternyata..." Suaranya tercekat.
"Sudahlah, Pak," Bu Ratih mencoba menghibur. "Yang penting sekarang Pak Darmo jaga kesehatan. Kalau Dewi pulang nanti, dia pasti ingin lihat ayahnya sehat."