"Kalau dia pulang..." Pak Darmo tersenyum getir. "Saya sudah tua, Bu. Mungkin... dia tidak akan sempat melihat saya lagi."
"Jangan bicara begitu!" Bu Ratih menggeleng tegas. "Tuhan pasti punya rencana yang baik. Sekarang, ayo makan dulu. Saya bawakan soto ayam, masih hangat."
Pak Darmo akhirnya mengangguk. Dia melipat surat di tangannya dengan hati-hati dan menyimpannya kembali ke dalam laci. Sementara Bu Ratih bergegas ke dapur untuk menghangatkan soto yang dibawanya.
Di luar, hujan mulai mereda. Awan kelabu perlahan berarak pergi, menyisakan aroma tanah basah yang begitu familiar. Pak Darmo menatap ke arah jalan setapak di depan rumahnya yang becek. Berapa kali ia membayangkan Dewi akan muncul dari sana, berjalan pulang dengan senyum lebarnya seperti dulu?
Tapi kali ini, seperti ribuan sore sebelumnya, jalan setapak itu tetap sepi. Hanya ada genangan air yang memantulkan cahaya senja yang mulai meredup, dan harapan yang tak pernah padam di hati seorang ayah yang masih setia menunggu kepulangan putri semata wayangnya.
Malam pun turun perlahan, membawa serta kesenyapan yang begitu dalam. Di sudut ruangan, jam dinding tua terus berdetak, menghitung waktu yang terus bergulir tanpa henti. Dan Pak Darmo masih di sana, duduk di kursi rotannya yang usang, menunggu---seperti yang selalu dia lakukan setiap hari selama lima belas tahun terakhir.
Mungkin besok. Ya, mungkin besok hujan akan membawa Dewi pulang.
Namun malam itu, ketukan di pintu mengejutkan Pak Darmo dari lamunannya. Bukan ketukan halus seperti biasa dilakukan Bu Ratih ketika datang, tapi ketukan tergesa yang membawa firasat aneh. Dengan langkah tertatih, dia membuka pintu.
Seorang perempuan berdiri di sana, basah kuyup. Wajahnya tidak asing, raut muka itu mengingatkannya pada seseorang---tapi tidak, dia bukan Dewi. Perempuan itu memandangnya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak Darmo?" suaranya bergetar. "Sa...saya... saya Sekar, temannya Dewi di kota."
Jantung Pak Darmo seakan berhenti berdetak. Lima belas tahun menunggu kabar, dan kini seseorang berdiri di hadapannya, bukan orang yang dirindukannya. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Sekar memandangnya yang membuat dadanya sesak karena terhimpit rasa cemas.