"Dewi... dia menitipkan ini untuk Bapak." Sekar mengulurkan sebuah amplop, masih rapi meski sedikit basah oleh air hujan. "Maaf, Saya baru bisa menyampaikannya sekarang."
Tangan Pak Darmo gemetar menerima amplop itu. Ada yang berbeda dari amplop ini---terlalu rapi, terlalu baru, seperti bukan gaya Dewi yang selebor, Dewi yang selalu melakukan segala sesuatunya dengan tergesa-gesa.
"Apa..." Pak Darmo menelan ludah, "apa Dewi baik-baik saja?"
Sekar tidak langsung menjawab. Air matanya menetes perlahan, bercampur dengan tetesan air hujan di wajahnya. "Ba...bapak... se...sebaiknya baca saja suratnya."
Di kejauhan, petir menyambar membelah langit malam. Pak Darmo menatap amplop di tangannya, kemudian sosok Sekar yang masih berdiri gemetar. Ada sejuta pertanyaan yang ingin ia tanyakan, tapi lidahnya kelu. Perlahan, dia membuka amplop itu.
Hujan masih turun dengan deras di luar sana, menyamarkan isak tangis yang mulai terdengar dari dalam rumah tua itu. Di meja, surat lama yang selama ini disimpan Pak Darmo tergeletak di samping surat yang baru---dua kisah yang terpisah selama lima belas tahun, dua serpihan waktu yang mungkin tidak akan pernah dapat bertemu kembali.
Dan malam pun menggelap, menyimpan jutaan kenangan di dalam pelukannya.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H