Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Membasahi Cerita yang Membisu

11 Januari 2025   08:39 Diperbarui: 11 Januari 2025   08:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh John-Mark Smith: https://www.pexels.com/id-id/foto/amplop-coklat-di-atas-meja-281962/ 

Pak Darmo tidak menjawab. Matanya yang mulai rabun kembali menatap amplop kusam di tangannya.

"Sudah coba telepon nomor lamanya?"

"Nomornya sudah tidak aktif, Bu," jawab Pak Darmo dengan suara bergetar. "Surat-surat yang saya kirim juga selalu kembali. Alamatnya sudah berubah mungkin."

Bu Ratih duduk di kursi rotan yang ada di sebelah Pak Darmo. Hujan di luar semakin deras, membuat suasana semakin sendu. "Saya yakin Dewi pasti baik-baik saja di sana. Mungkin dia sedang sibuk bekerja, atau sudah berkeluarga..."

"Ya, mungkin..." Pak Darmo mengangguk pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi kadang saya berpikir, apa salah saya sampai dia tidak mau pulang? Apa saya terlalu keras padanya dulu?"

"Jangan berpikir begitu, Pak," Bu Ratih menggenggam tangan tetangganya itu. "Dewi anak yang baik. Dia pasti punya alasannya sendiri."

Pak Darmo terdiam. Matanya yang berkaca-kaca menatap keluar jendela, ke arah hujan yang masih turun dengan derasnya. Di luar sana, seorang anak kecil berlarian dengan payung warna-warni, mengingatkannya kembali pada Dewi kecilnya.

"Dulu," Pak Darmo mulai bercerita dengan suara lirih, "setiap hujan turun, Dewi selalu minta izin main di luar. Katanya dia suka mendengar suara hujan, suka mencium bau tanah basah. Saya selalu melarangnya, takut dia sakit. Tapi dia tetap nekat main hujan-hujanan..."

Bu Ratih tersenyum mendengar cerita itu. "Dewi memang anak yang periang."

"Ya, sangat periang..." Pak Darmo menghela napas panjang. "Sampai suatu hari dia berubah. Mulai jarang tersenyum, jarang bicara. Saya pikir itu hanya fase remaja biasa. Ternyata..." Suaranya tercekat.

"Sudahlah, Pak," Bu Ratih mencoba menghibur. "Yang penting sekarang Pak Darmo jaga kesehatan. Kalau Dewi pulang nanti, dia pasti ingin lihat ayahnya sehat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun