Dia benar-benar menjiawai perannya sebagai dosen Filsafat, sangat pendiam hanya tersenyum.
Aku nekat. Suatu sore, aku memberanikan diri. Kutarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Aku mau tahu lebih banyak tentang kamu."
Dia tersenyum, matanya berbinar. "Tentang apa?" tanyanya, suaranya lembut bagai bisikan angin di antara dedaunan.
"Semua tentang kamu," jawabku kikuk.
Dia terdiam sejenak, matanya merenungkan pertanyaan itu. "Aku senang menulis," balasnya, "aku menulis cerita, puisi, juga lagu. Aku menciptakan dunia baru, negeri yang penuh imajinasi yang sarat emosi."
Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Menulis? "Aku juga suka menulis,," kataku, "tapi, aku tidak pernah serius, aku takut dengan penilaian orang terhadap tulisanku."
Dia tersenyum, "Kenapa harus takut? Setiap orang punya ceritanya sendiri untuk diceritakan."
Kata-katanya meresap hingga ke relung terdalam, mengetuk lembut pintu hatiku, membungkus kami dalam keheningan, menciptakan ikatan yang tak kasat mata, sebuah simpul pemahaman yang tak perlu diucapkan, namun terasa sangat nyata.Â
Bagai aliran sungai yang tenang, kata-kata mengalir begitu alami, membangun jembatan antar jiwa yang saling meraba dalam diam, menghubungkan rasa yang baru saja tumbuh dalam keheningan.Â
Aku senang. Mungkin, aku telah menemukan seseorang yang bisa mengerti keinginanku, seseorang yang bisa membantuku menemukan kembali mimpi-mimpi yang telah lama aku lupakan.Â
Mungkinkah ini cinta pertama yang kembali hadir setelah berkali-kali patah hati?