Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Sebuah Negara

24 Agustus 2024   12:37 Diperbarui: 24 Agustus 2024   12:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh cottonbro dari pexel.com

"Jadi... apa benar, kita sudah merdeka?" Suara pemuda itu bergetar ada amarah yang terlontar, suara yang bergemuruh itu terlontar penuh keraguan. 

Ia menatap langit senja yang memerah di bawah kolong jembatan, matanya kosong. Di tangannya terselip sebuah buku usang tentang sejarah perjuangan kemerdekaan,  halamannya terbuka pada sebuah kisah pertempuran ideologi yang heroik. 

"Merdeka?" Lelaki tua itu membalasnya dengan pertanyaan, lelaki tua yang sedang duduk di sampingnya itu menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kau merasa sudah merdeka?" 

Pemuda yang sedang dirundung kebingungan itu menggeleng. "Aku pun tak tahu, Pak. Aku merasa terkekang oleh kemiskinan, oleh ketidakadilan, oleh rasa putus asa yang tak pernah ada habisnya."

Lelaki tua itu tersenyum pahit. "Kau tahu, Nak. Kemerdekaan itu bukan hanya tentang tanggal perayaannya saja, atau ucapan proklamasi belaka. Kemerdekaan itu tentang jiwa,  tentang tekad,  tentang perjuangan yang tak pernah berhenti."

"Aku tak paham, Pak?" suaranya terdengar sangat putus asa.

Lelaki tua itu terdiam sejenak, menatap wajah pemuda yang sedang dilanda kebingungan itu dengan tatapan penuh iba. Ia mengerti kekecewaan serta keputusasaan yang dirasakannya. Dia sendiri telah merasakan pahitnya penindasan serta ketidakadilan selama bertahun-tahun lamanya.  

"Dengan pendidikan, Nak," jawab lelaki tua itu, suaranya pelan namun tegas, "dengan pengetahuan, kau bisa melawan ketidakadilan, kau mengatasi kemiskinan, kau bisa juga membangun masa depan yang lebih baik."

"Pendidikan? Mana mungkin, Pak?" Pemuda itu menggelengkan kepala, "Lihatlah sekeliling kita, Pak. Anak-anak tak bisa bersekolah,  orang tua tak punya uang untuk makan, apalagi untuk sekolah."

"Ada banyak jalan, Nak," kata lelaki tua itu, "ada beasiswa, ada bantuan dari pemerintah,  ada juga orang-orang baik yang ingin membantu."

"Beasiswa? Bantuan pemerintah? Kau bercanda, Pak!" Pemuda itu mencibir, "Mereka hanya peduli dengan diri mereka sendiri,  mana mungkin mereka peduli dengan nasib rakyat kecil seperti kita."

"Janganlah kau putus asa dulu, Nak," kata lelaki tua itu, suaranya tegas, dia berusaha meyakinkan pemuda itu, "kau harus tetap berjuang, jangan pernah menyerah."

Pemuda itu terdiam, menatap ragu lelaki tua itu, nampaknya tak ada jalan keluar dari jurang kemiskinan serta ketidakadilan yang mencengkeramnya.  

"Bagaimana caranya,  Pak?" Terlontar pertanyaan dari mulut pemuda malang itu.

"Dengan bersatu,  Nak," jawab lelaki tua itu, "saling membantu, kau bisa mengatasi kesulitan ini. Kita harus bisa membangun persatuan juga persaudaraan, kau harus mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan."

Pemuda itu terdiam, menatap lelaki tua itu, dalam sekejap dia langsung terinspirasi, seperti ada secercah cahaya harapan yang mencuat dari dalam hatinya.  

"Terima kasih, Pak," katanya, suaranya terdengar lebih bersemangat dari sebelumnya.  

Lelaki tua itu tersenyum, menatapnya bangga. Lelaki tua itu tahu bahwa dia memiliki potensi yang sangat besar, lelaki tua itu yakin bahwa dia bisa menjadi pemimpin di masa depan, dia yang akan membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih cerah.  

"Ini yang aku sebut pemuda," katanya sambil mengacungkan jempolnya, "teruslah berjuang,  jangan pernah pernah menyerah." 

Pemuda itu mengangguk, sambil menatap langit yang semakin gelap, pandangannya jauh melayang ke langit tanpa bintang, mereka berdua tersenyum sambil menghirup udara malam dengan aroma pesing berbalut harumnya bangkai di kolong bawah jembatan.

Pemuda gembel itu terinspirasi, dia yakin bahwa dengan tekad dan usaha yang gigih, dia akan mencapai tujuannya.  

"Aku akan berjuang, Pak," katanya,  suaranya bulat penuh tekad, "aku akan berjuang untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya." 

"Bagus!," jawab lelaki tua itu, "berikanlah sesuatu yang berharga bagi dirimu dan yang orang lain butuhkan untuk melanjutkan kemerdekaan ini, Nak" 

***

"BYUUR." Air yang mengguyur tubuhnya membuatnya langsung terbangun. "Woi... gembel jangan tidur di toko orang, udah siang, nih!" teriak pemilik toko.

Ngadimin segera berdiri menjauh dari emperan toko, bajunya basah, kardus alas tidurnya yang baru saja dia dapat semalam juga basah, bahkan hancur tidak lagi dapat dipakai untuk dia tidur nanti malam.

Sejak kapan kota besar membuai gembel dengan kenyamanan, mereka yang sibuk berkelahi dengan waktu demi lembaran-lembaran yang dapat ditukar dengan kenikmatan akan murka melihat wajah-wajah kumal berkeliaran.

"Maaf... maaf. Pak!" ucapnya gugup. 

"Sana-sana, bikin toko gue bau aja lo!" teriaknya.

Ngadimin mengangguk dengan patuh, lalu bergegas berjalan menjauhi toko. Jantungnya berdegup kencang, takut dan panik bercampur menjadi satu. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap siapapun yang dijumpainya.

Terus melangkahkan kakinya hingga di sudut jalanan yang sepi. Ngadimin mendudukkan dirinya di atas batu, mengeluarkan secuil roti sisa semalam dari saku celana lusuhnya. Perlahan, ia menggigit roti itu, merasakan betapa kering mulutnya.

"Harusnya aku tidak tidur di sana," gumamnya dalam hati, menyesali kecerobohannya. "Sekarang aku tidak punya kardus untuk tidur malam ini."

Ngadimin mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang, sebagian besar menatapnya dengan pandangan jijik. Ia menghela napas panjang, merasa semakin terpuruk.

Tiba-tiba, dari ujung jalan, seorang laki-laki tua menghampirinya. Ngadimin mendongak dan mengenali sosok itu sebagai lelaki tua yang kemarin sore berbincang dengannya di pinggir jalan.

"Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya lelaki tua itu ramah. "nampaknya kau sedang punya masalah ?"

Ngadimin mengangguk ragu. "Betul, Pak. Tadi aku diusir dari depan toko, jahat sekali mereka, aku bukan gembel, Pak!"

Lelaki tua itu menatapnya tajam, "Aku tahu, kau bukan sembarang gembel."

"Aku ke Jakarta karena aku ingin melanjutkan pendidikan, Pak. Nasib malang menimpaku, aku kena tipu, habis semua uang yang sudah kutabung. Aku tidak akan kembali ke kampung sebelum kuraih gelar itu, Pak!"

Lelaki tua itu tersenyum bijak. "Ayo, ikut. Aku punya tempat yang bisa kau pakai untuk tinggal."

Ngadimin memandang lelaki tua itu dengan tatapan tak percaya. "Benarkah, Pak?" tanyanya.

"Tentu saja," jawab lelaki tua itu, "ayo, ikut."

Tanpa ragu, Ngadimin bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah lelaki tua itu. Entah mengapa, dia merasa yakin lelaki tua itu dapat dipercaya. Mungkin inilah awal dari perubahan nasibnya.

Ngadimin mengikuti lelaki tua itu dengan langkah ragu-ragu, ketika mereka berjalan melewati beberapa gang sempit, Ngadimin mulai merasa ada yang tidak beres.

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Ngadimin.

"Tenang saja, Nak. Kita hampir sampai," jawab lelaki tua itu sambil terus berjalan.

Setelah beberapa saat, mereka berhenti di depan sebuah pintu yang tampak usang. Lelaki tua itu mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya dan membuka pintu tersebut.

"Nah, ini dia tempat yang kumaksud. Ayo, masuklah," ujar lelaki tua itu sambil mempersilakan Ngadimin masuk.

Ngadimin diam sejenak, namun akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkah kaki lelaki tua itu masuk. Begitu pintu ditutup, Ngadimin terkejut melihat ruangan yang gelap dan pengap. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kasur lusuh dan beberapa kardus bekas.

"Ini tempatnya. Kau bisa tinggal di sini selamanya," kata lelaki tua itu.

Ngadimin menelan ludah dengan gugup. "Tapi... tapi ini di mana, Pak? Kenapa tempat ini menyeramkan?"

Lelaki tua itu tersenyum lebar. "Tenang saja, Nak. Ini adalah tempat yang aman. Kau bisa beristirahat di sini tanpa perlu khawatir."

Ngadimin merasakan firasat buruk. Dia mulai meragukan niat baik lelaki tua itu. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara-suara lain dari balik pintu.

"Bagus, kau sudah membawanya kemari," ujar seseorang.

Ngadimin membalikkan badan dan melihat beberapa orang asing yang memasuki ruangan. Wajah mereka terlihat sangar, Ngadimin mulai merasa ketakutan.

"Apa... kalian mau apa?" tanya Ngadimin dengan suara gemetar.

Salah satu dari mereka tertawa menyeringai. "Kau akan segera tahu."

"Kau yakin bangsa kita sudah merdeka? Aku bisa berikan kemerdekaan sejati untuk kau!" ucap lelaki tua itu.

"Tapi... Pak. Aku ingat kau sebut kemarin kemerdekaan adalah perjuangan tanpa henti, kemerdekaan itu... meraihnya dengan pendidikan?"

"Benar sekali, Nak... kau akan tau setelah ini." ucap lelaki tua itu sambil memerintahkan dua orang yang berwajah sangar itu untuk menangkapnya.

Tanpa perlu banyak waktu dua orang bertubuh besar dan menyeramkan itu berhasil membius Ngadimin.

***

"Selamat sore, Pak Husni... uangnya sudah saya transfer ke Yayasan Pendidikan Merdeka."

"Robet, kau tidak perlu kuatir... anak-anak itu memang perlu dibantu, Robet. Agar mereka dapat melanjutkan cita-cita bangsa. Sama seperti mimpi kau kan, Robet ?" ucap lelaki tua itu, "Robet, ginjalnya berfungsi dengan sempurna, kan?"

"Semuanya aman, Pak Husni."

"Aku sudah duga, pemuda gembel itu dapat melanjutkan mimpi negaranya, Hahaha."

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun