Ngadimin mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang, sebagian besar menatapnya dengan pandangan jijik. Ia menghela napas panjang, merasa semakin terpuruk.
Tiba-tiba, dari ujung jalan, seorang laki-laki tua menghampirinya. Ngadimin mendongak dan mengenali sosok itu sebagai lelaki tua yang kemarin sore berbincang dengannya di pinggir jalan.
"Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya lelaki tua itu ramah. "nampaknya kau sedang punya masalah ?"
Ngadimin mengangguk ragu. "Betul, Pak. Tadi aku diusir dari depan toko, jahat sekali mereka, aku bukan gembel, Pak!"
Lelaki tua itu menatapnya tajam, "Aku tahu, kau bukan sembarang gembel."
"Aku ke Jakarta karena aku ingin melanjutkan pendidikan, Pak. Nasib malang menimpaku, aku kena tipu, habis semua uang yang sudah kutabung. Aku tidak akan kembali ke kampung sebelum kuraih gelar itu, Pak!"
Lelaki tua itu tersenyum bijak. "Ayo, ikut. Aku punya tempat yang bisa kau pakai untuk tinggal."
Ngadimin memandang lelaki tua itu dengan tatapan tak percaya. "Benarkah, Pak?" tanyanya.
"Tentu saja," jawab lelaki tua itu, "ayo, ikut."
Tanpa ragu, Ngadimin bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah lelaki tua itu. Entah mengapa, dia merasa yakin lelaki tua itu dapat dipercaya. Mungkin inilah awal dari perubahan nasibnya.
Ngadimin mengikuti lelaki tua itu dengan langkah ragu-ragu, ketika mereka berjalan melewati beberapa gang sempit, Ngadimin mulai merasa ada yang tidak beres.