Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angin Sore yang Berbisik di Antara Dedaunan

17 Agustus 2024   12:43 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:04 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Basri..." bisik Daniar, suaranya serak, tertelan angin sore yang berbisik di antara dedaunan.

Mentari menyapa langit dengan warna jingganya yang lembut, menerpa wajah Daniar yang tengah duduk termenung di beranda rumahnya. Rumah kayu tua itu berdiri kokoh di tepi sungai, saksi bisu perjalanan hidup Daniar yang penuh dengan rindu serta penyesalan. Di tangannya, sebuah foto yang telah pudar terpegang erat, wajah Basri yang sedang tersenyum lebar terpatri di sana.

Hari itu, sebuah pesta pernikahan yang sedang berlangsung di desa Luhak Nan Tuo. Daniar, yang masih remaja, terlihat pendiam di antara para tamu yang ramai. Dia lebih suka mengamati orang-orang dari kejauhan, menikmati suasana riuh rendah pesta pernikahan yang penuh dengan warna, aroma kemenyan menyeruak di udara terselip di antara pengunjung.

Tiba-tiba, seorang pemuda muncul di hadapannya. Pemuda itu tinggi, berbadan tegap, dengan wajah yang tampan, tersemat senyum yang menawan di antara pipinya, sorot matanya tajam berbinar-binar, menatap Daniar dengan penuh perhatian.

"Permisi, apa benar ini rumah Bapak Karim?" tanya pemuda itu, suaranya lembut juga menenangkan.

Daniar tertegun. Dia belum pernah melihat pemuda setampan itu sebelumnya. "Ya, benar. Ini rumah Bapak saya," jawab Daniar, suaranya sedikit gemetar.

"Nama saya Basri," kata pemuda itu, sambil mengulurkan tangannya.

Daniar menyambut uluran tangan Basri dengan gugup. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam tubuh Daniar, dia belum pernah merasakannya.

"Daniar," jawabnya, sambil tersenyum malu-malu.

Basri tersenyum lebar. "Namanya bagus," katanya. "Mm... arti nama itu... bunga melati yang harum, betul?"

Daniar semakin gugup. Tidak pernah ada seorang pemuda yang berkata seperti itu sebelumnya. Dia hanya terdiam, manik matanya menatap Basri dengan penuh rasa kagum.

Basri, yang menyadari gelagat gugup Daniar, mencoba untuk mencairkan suasana. "Ayah, menyuruh saya untuk ketemu dengan Pak Karim, ada titipan dari Ayah saya," ucap Basri. "Saya juga dengar cerita tentang desa ini dari Ayah," katanya. "Kata Ayah, desa ini indah, dengan sungai yang mengalir tenang, sawah yang hijau." Basri membuang tatapannya agar Daniar tidak gugup.

"I-Iya benar, Tanah Datar ini memang desa yang indah," jawab Daniar, suaranya mulai tenang. "Tapi, hidup di sini sangat sederhana."

"Sederhana tapi penuh makna," sambar Basri, dia kembali menatap Daniar dengan tatapan tajamnya. "Seperti hidupmu, Daniar. Sederhana tapi penuh dengan keindahan." Tangan Basri menunjuk ke sekeliling. Basri terlihat kagum dengan kemeriahan pernikahan kakak Daniar itu.

Daniar tersipu malu. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Basri. Pemuda itu memiliki aura yang menawan, membawa angin segar ke dalam hidupnya yang membosankan.

"Terima kasih," kata Daniar, suaranya teredam oleh rasa gugup.

"Sama-sama," jawab Basri, sambil tersenyum. "Saya harus bertemu ayahmu Daniar, di mana dia?"

"O... Mmm..." Mata Daniar mencari-cari sosok ayahnya, "itu..." tunjuknya. "Tapi, biarlah saya antar bertemu Ayah."

"Jangan, biar saya bertemu sendiri," tolak Basri, "Sampai ketemu lagi, Daniar."

Daniar hanya mengangguk, menatap punggung Basri yang berlalu dengan langkah ringan. Dia merasakan ada sesuatu yang hangat bergerak perlahan di sekujur tubuhnya, ada bunga yang baru saja mekar di taman hatinya, menebarkan aroma harum yang menenangkan jiwa.

Sejak hari itu, Daniar tidak bisa melupakan Basri. Selalu teringat pada senyum Basri yang menawan dengan tatapan matanya yang tajam penuh dengan makna. Dia merasa ada sesuatu yang istimewa dalam diri Basri, sesuatu yang membuatnya berbeda dari pemuda-pemuda lain di desanya.

Daniar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dia hanya merasakan sebuah perasaan yang baru, sebuah perasaan yang membuatnya bahagia penuh dengan warna.

Basri, perlahan menjadi cinta pertamanya. Pemuda berparas tampan dengan senyum yang menawan itu adalah anak kepala desa, seorang pemuda yang disegani, tentu saja dihormati. Daniar, gadis desa yang sederhana, jatuh cinta pada Basri sejak pertama kali bertemu.

Basri baru saja pindah ke desa itu, sebelumnya dia tinggal di Jawa, ayahnya ingin Basri memperdalam ilmu agama di desa itu sebelum dia kembali merantau demi mengejar masa depannya.

Ayahnya tidak ingin melihat Basri terlibat pergerakan-pergerakan sayap kiri yang sedang marak di Jawa.

Tentu saja Basri semakin akrab dengan Daniar, karena mereka satu sekolah. Cinta mereka pun tumbuh subur di tengah hamparan sawah dan sungai yang mengalir tenang. Mereka menghabiskan waktu bersama, bercanda, berdebat, juga bercerita tentang mimpi-mimpi mereka. Daniar membayangkan masa depan bersama Basri, membangun rumah sederhana di tepi sungai, lalu membesarkan anak-anak mereka di tengah sawah yang tumbuh menguning.

Namun, takdir punya rencana lain. Basri, memiliki ambisi yang sangat besar, memilih untuk merantau ke Jakarta untuk mengejar cita-cita. Perpisahan itu menyayat hati Daniar, namun dia tetap tegar, menenangkan dirinya dengan janji Basri untuk kembali dan menikahi dirinya setelah menyelesaikan pendidikannya.

Tahun demi tahun berlalu, surat-surat Basri menjadi penyejuk hati Daniar. Dia membaca setiap kata yang ditulis Basri dengan penuh harap, berharap bahwa cinta mereka akan tetap terjaga meskipun jarak memisahkan mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, surat-surat Basri semakin jarang datang. Daniar mulai merasakan perubahan dalam diri Basri, nada suratnya tidak lagi sehangat dulu. Rasa cemas mulai menggerogoti hatinya.

Suatu hari, sebuah surat datang, bukan dari Basri, melainkan dari seorang perempuan bernama Yanti. Dia menulis tentang rencana pernikahannya dengan Basri. Surat itu bagaikan petir di siang bolong, menghancurkan mimpi-mimpi Daniar yang selama ini disimpannya.

Daniar terpuruk, hatinya hancur berkeping-keping. Dia merasa dikhianati, diabaikan oleh cinta sejatinya. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.

"Kenapa, Basri? Kenapa kau melupakan janjimu?" tanya Daniar pada foto Basri yang terpegang erat di tangannya.

Daniar memutuskan untuk melupakan Basri. Dia menikah dengan seorang pemuda dari desa pilihan orang tuanya, seorang lelaki yang mencintainya dengan tulus. Namun, bayangan Basri tidak pernah benar-benar menghilang dari benaknya.

Bertahun-tahun kemudian, Basri kembali ke desanya. Dia datang dengan status sebagai seorang pengusaha sukses, membawa serta Yanti, istrinya yang cantik dengan wajah yang anggun.

Daniar bertemu Basri di sebuah acara yang sedang berlangsung di desa Luhak Nan Tuo. Keduanya saling memandang, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya tatapan hampa yang penuh dengan kenangan pahit terbesit di antara netra mereka berdua.

Daniar melihat perbedaan dalam diri Basri. Lelaki yang dulu sederhana, penuh dengan cinta, kini terlihat dingin, kata-katanya angkuh, penuh ambisi. Yanti, istrinya, terlihat bahagia, nampak dari sorot matanya terlihat bangga dengan kesuksesan Basri.

Daniar tersenyum getir. Dia menyadari bahwa Basri yang dulu dia cintai telah hilang, tergantikan oleh seorang lelaki yang sukses yang penuh dengan ambisi.

"Kau bahagia, Basri?" tanya Daniar dalam hati, suaranya tertelan angin sore yang berbisik di antara dedaunan.

Basri, yang melihat Daniar dari kejauhan, merasakan sesak di dadanya. Dia teringat masa muda mereka, saat cinta mereka masih suci, penuh dengan harapan, terselip penyesalan karena keputusannya meninggalkan Daniar, untuk mengejar ambisi serta kekayaan.

"Maafkan aku, Daniar," bisik Basri dalam hati, suaranya tertelan hiruk pikuk pengunjung desa Luhak Nan Tuo.

Daniar kembali ke rumahnya, membawa foto Basri yang pudar. Dia menatap wajah Basri yang tersenyum lebar di sana, wajah yang tidak akan pernah terlupakan.

"Aku mencintaimu, Basri," bisik Daniar, suaranya lembut penuh dengan rindu.

Malam itu, Daniar tertidur dengan foto Basri di sampingnya. Dia bermimpi tentang masa mudanya, saat cinta mereka masih belum terjamah oleh topeng dunia.

"Aku mencintaimu, Basri," bisik Daniar dalam mimpinya, suaranya lembut dan penuh kerinduan.

Daniar terbangun dengan perasaan kosong. Kasihnya tak sampai, cintanya akan selamanya menjadi bagian dari masa lalunya. Dia akan terus mencintai Basri, meskipun takdir telah memisahkan mereka.

Di tepi sungai yang mengalir tenang, Daniar terus menanti, menanti sebuah keajaiban yang tidak akan pernah datang. Dia menanti Basri, lelaki yang telah mencuri hatinya lalu meninggalkan luka yang tidak kunjung reda.

"Basri..." bisik Daniar, suaranya serak, tertelan angin sore yang berbisik di antara dedaunan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun