Daniar memutuskan untuk melupakan Basri. Dia menikah dengan seorang pemuda dari desa pilihan orang tuanya, seorang lelaki yang mencintainya dengan tulus. Namun, bayangan Basri tidak pernah benar-benar menghilang dari benaknya.
Bertahun-tahun kemudian, Basri kembali ke desanya. Dia datang dengan status sebagai seorang pengusaha sukses, membawa serta Yanti, istrinya yang cantik dengan wajah yang anggun.
Daniar bertemu Basri di sebuah acara yang sedang berlangsung di desa Luhak Nan Tuo. Keduanya saling memandang, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya tatapan hampa yang penuh dengan kenangan pahit terbesit di antara netra mereka berdua.
Daniar melihat perbedaan dalam diri Basri. Lelaki yang dulu sederhana, penuh dengan cinta, kini terlihat dingin, kata-katanya angkuh, penuh ambisi. Yanti, istrinya, terlihat bahagia, nampak dari sorot matanya terlihat bangga dengan kesuksesan Basri.
Daniar tersenyum getir. Dia menyadari bahwa Basri yang dulu dia cintai telah hilang, tergantikan oleh seorang lelaki yang sukses yang penuh dengan ambisi.
"Kau bahagia, Basri?" tanya Daniar dalam hati, suaranya tertelan angin sore yang berbisik di antara dedaunan.
Basri, yang melihat Daniar dari kejauhan, merasakan sesak di dadanya. Dia teringat masa muda mereka, saat cinta mereka masih suci, penuh dengan harapan, terselip penyesalan karena keputusannya meninggalkan Daniar, untuk mengejar ambisi serta kekayaan.
"Maafkan aku, Daniar," bisik Basri dalam hati, suaranya tertelan hiruk pikuk pengunjung desa Luhak Nan Tuo.
Daniar kembali ke rumahnya, membawa foto Basri yang pudar. Dia menatap wajah Basri yang tersenyum lebar di sana, wajah yang tidak akan pernah terlupakan.
"Aku mencintaimu, Basri," bisik Daniar, suaranya lembut penuh dengan rindu.
Malam itu, Daniar tertidur dengan foto Basri di sampingnya. Dia bermimpi tentang masa mudanya, saat cinta mereka masih belum terjamah oleh topeng dunia.